Suara.com - Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah yang dinilai telah membebani keuangan negara.
Pasalnya sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp 29 triliun. Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsudi gas hulu tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 15 triliun.
“Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara ini jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas. Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” tegas Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin PhD, ditulis Jumat (11/8/2023).
Eddy menambahkan program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya. Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik. Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan,” lanjut Eddy.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun. Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
“Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022. Kebijakan HGBT mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor,” jelas Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji dalam sebuah rapat dengan DPR pada April tahun ini.
Menurut Eddy pemberian subsidi harga gas kepada sektor industri selama 2 tahun ternyata juga tidak menjamin adanya peningkatan daya saing dan membesarnya kontribusi penerima subsidi terhadap perekonomian negara. Padahal dua aspek tersebut termasuk bagian dari tujuan pemerintah ketika menetapkan program harga gas USD 6 per MMBTU.
“Meskipun sudah menerima subsidi, belum tentu produk dari industri tersebut semakin kompetitif. Kalau lebih murah mungkin iya. Namun perlu diingat, ada faktor lain agar produk tersebut kompetitif seperti kualitas, inovasi, quality control, hingga layanan customer service,” tandasnya.
Baca Juga: Lagi, Polda Sumut Gerebek Tempat Pengoplosan Gas di Medan, 3 Orang Ditangkap
Ia kemudian mencontohkan masih besarnya impor keramik asal China. Padahal melalui program harga gas murah pemerintah berharap perusahaan keramik lokal, yang juga menerima harga gas USD 6, mampu bersaing di pasar domestik. Tidak hanya itu saja, perusahaan keramik yang menerima subsidi ternyata belum bisa maksimal menyerap alokasi gas yang diberikan oleh pemerintah.
Pekan lalu Kementerian Perindustrian menyebut, produk keramik asal Cina masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir keramik asal Cina ini menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia menurun. Pada kuartal I 2023, utilisasi industri keramik Indonesia sebesar 75%, turun dibandingkan kuartal I 2022 sebesar 78%.
“Kami lihat memang banyak produk keramik impor yang beredar di pasar," ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif di kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (31/7).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian terdapat sebanyak 217 perusahaan dari 7 industri penerima HGBT dengan total alokasi sebesar 1.253,36 BBTUD pada 2022. Dari total alokasi tersebut, realisasi volume gas yang terpakai hanya mencapai 83,02% atau 1.040,54 BBTUD.
Dari 7 sektor industri tersebut, dua sektor yaitu industri baja dan keramik merupakan penerima gas subsidi dengan penggunaan gas terendah. Industri baja memperoleh alokasi 76,34 BBTUD kepada 63 perusahaan.
Dari alokasi tersebut, gas yang terserap hanya 67,5% atau 51,29 BBTUD.Sementara itu terdapat jatah 130,60 BBTUD gas murah kepada Industri keramik. Sayangnya terpakai hanya 89,66 BBTUD atau 68,65%.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- Biodata dan Pendidikan Gus Elham Yahya yang Viral Cium Anak Kecil
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
YES 2025: Berbagi Tips Investasi Bagi Generasi Muda Termasuk Sandwich Generation
-
Youth Economic Summit 2025 : Pentingnya Manfaat Dana Darurat untuk Generasi Muda
-
Kapan Bansos BPNT Cair? Penyaluran Tahap Akhir Bulan November 2025, Ini Cara Ceknya
-
Youth Economic Summit 2025: Ekonomi Hijau Perlu Diperkuat untuk Buka Investasi di Indonesia
-
Apa Itu Opsen Pajak? Begini Perhitungannya
-
Youth Economic Summit 2025: Peluang Industri Manufaktur Bisa Jadi Penggerak Motor Ekonomi Indonesia
-
Kapan Kenaikan Gaji Pensiunan PNS 2025 Cair? Ini Kata Kemenkeu dan Realitanya
-
Youth Economic Summit (2025) : Indonesia Diminta Hati-hati Kelola Utang
-
BRI Terus Berkomitmen Majukan UMKM Sebagai Pilar Ekonomi Nasional
-
Adakah Pinjaman Tanpa BI Checking? Jangan Mudah Tergiur, Cek Dulu Hal Penting Ini!