Suara.com - Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, Ph.D memuji pemerintah Indonesia, khususnya tindakan Presiden Jokowi yang berani tegas terhadap Republik Rakyat Cina (RRC) meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan Cina.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulatan Indonesia,” tutur Hikmahanto guru besar yang juga rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani itu dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan Di Perairan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) ditulis Jumat (29/9/2023).
Selain Hikmahanto, diskusi juga dihadiri oleh Ketua FSI Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D., yang juga dosen Universitas Pelita Harapan; dengan moderator Muhammad Farid, dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang dan Muhammad Farid, seketaris FSI yang juga dosen program studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang.
Menanggapi dirilisnya peta baru RRC yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim RRC yang ditandai dengan garis putus putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus putus RRC, yang sekarang berkembang menjadi sepuluh itu, tidak ada, dan sebagai konsekwensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan. Kedua, kita harus melakukan pengabaian, bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE kita tersebut, dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” tutur Hikmahanto, akademisi dan Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh RRC yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah.
“Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan Cina pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan, yang dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda.”
"Indonesia memperjuangkannya melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional, sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional, bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut),” jelasnya.
Baca Juga: Nyaris Kalahkan Cina dan AS, Apa Kunci Keberhasilan Industri India?
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, RRC tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional.
“Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspon dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim Cina tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Profesor Hikmahanto juga menjelaskan bahwa berbeda dengan negara-negara di atas, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan dengan RRC.
“Tetapi garis putus-putus RRC menerabas hak berdaulat Indonesia, yaitu perairan internasional yang menjadi ZEE kita di Perairan Natuna Utara. Jadi kalau RRC mengatakan bahwa mereka tidak ada masalah dengan kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna, kita tidak boleh terkecoh, karena memang yang mereka klaim adalah wilayah ZEE kita di perairan dekat kepulauan itu,” pungkasnya.
Hikmahanto menilai bahwa manuver RRC di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif. Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk RRC, negara itu semakin membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi RRC sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia menghimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresif nya RRC di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
Terkini
-
Prudential Syariah Bayarkan Klaim dan Manfaat Rp1,5 Triliun Hingga Kuartal III 2025
-
Rupiah Melemah, Sentimen Suku Bunga The Fed Jadi Faktor Pemberat
-
Daftar Pinjol Berizin Resmi OJK: Update November 2025
-
Survei: BI Bakal Tahan Suku Bunga di 4,75 Persen, Siapkan Kejutan di Desember
-
Berapa Uang yang Dibutuhkan untuk Capai Financial Freedom? Begini Trik Menghitungnya
-
Tiru Negara ASEAN, Kemenkeu Bidik Tarif Cukai Minuman Manis Rp1.700/Liter
-
Pemerintah Bidik Pemasukan Tambahan Rp2 Triliun dari Bea Keluar Emas Batangan di 2026
-
BRI Dukung PRABU Expo 2025, Dorong Transformasi Teknologi bagi UMKM Naik Kelas
-
Bunga KUR Resmi Flat 6 Persen dan Batas Pengajuan Dihapus
-
Finex Rayakan 13 Tahun Berkarya