Suara.com - Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) - INDEF, Abra Talattov menilai skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sekali tidak memiliki urgensi. Menurut dia, kebijakan power wheeling merupakan bentuk pemaksaan yang sangat merugikan rakyat.
"Saya menilai skema power wheeling ini hanya sekedar sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT, padahal kondisinya sangat tidak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini," ujarnya yang dikutip, Rabu (22/11/2023).
Pemerintah sebenarnya telah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL disebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara 11,8 GW.
"Artinya, apabila green RUPTL bisa dijalankan secara konsisten saja maka secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga 2030 akan mencapai 51,6 persen," kata dia.
Abra melanjutkan, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang terus melonjak. Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan tenaga listrik. Terbukti oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dimana oversupply pada tahun 2022 telah menyentuh 7 GW.
Situasi kondisi berlebih listrik tersebut berpotensi terus membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 gigawatt (GW).
Beban tersebut berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN karena akan ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan PLN akibat penjualan listrik di bawah capacity factor. Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP.
Buktinya, produksi listrik dari pembangkit milik PLN pada 2022 hanya tumbuh 1,13 persen. Sedangkan pertumbuhan pembelian listrik dari IPP mencapai 16,6% persen.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik, di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4 persen per tahun, namun realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5 persen per tahun. Dengan masuknya skema power wheeling maka akan berpotensi menggerus penjualan listrik (demand organic) PLN lebih banyak lagi hingga 10-30 persen.
Baca Juga: Begini Dampak yang Timbul Jika Skema Power Wheeling Diberlakukan
Dengan demikian, skema power wheeling juga pasti akan menambah risiko melonjaknya over supply listrik sehingga bakal berdampak terhadap kesehatan keuangan negara.
:Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan rakyat (tax payer) melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema take or pay mencapai Rp 3 triliun per GW," imbuh Abra.
Di tengah meningkatnya beban oversupply listrik tersebut, tentu implikasinya adalah beban terhadap APBN baik dalam bentuk subsidi maupun kompensasi listrik. Anggaran subsidi dan kompensasi listrik terus meningkat tiap tahunnya. Realisasi subsidi dan kompensasi listrik pada tahun 2021 mencapai Rp81,2 triliun, dan pada 2022 diproyeksikan akan mencapai Rp80,96 triliun yang terdiri dari subsidi listrik Rp21,4 triliun dan kompensasi Rp59,56 triliun.
Tidak hanya itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Implikasinya, ujar dia, akan timbul tambahan cadangan putar untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem. Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga sekitar Rp 3,44 triliun yang tentu akan membebani keuangan negara.
Artinya jika diasumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun. Ketika beban fiskal sudah semakin berat untuk menanggung subsidi dan kompensasi listrik tersebut, maka risiko berikutnya adalah menaikkan tarif listrik yang pastinya akan menambah beban rakyat di tengah tekanan inflasi yang terus meningkat.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Sepatu Lokal Senyaman On Cloud Ori, Harga Lebih Terjangkau
- 5 Body Lotion Niacinamide untuk Cerahkan Kulit, Harganya Ramah Kantong Ibu Rumah Tangga
- Menguak PT Minas Pagai Lumber, Jejak Keluarga Cendana dan Konsesi Raksasa di Balik Kayu Terdampar
- 5 HP Murah Terbaik 2025 Rekomendasi David GadgetIn: Chip Mumpuni, Kamera Bagus
- 55 Kode Redeem FF Terbaru 9 Desember: Ada Ribuan Diamond, Item Winterlands, dan Woof Bundle
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Klaim Asuransi Bencana Sumatra Nyaris Rp1 Triliun, Ini Rinciannya
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
Pindar dan Rentenir Bikin Ketar-ketir, Mengapa Masih Digemari Masyarakat?
-
Program MBG Jadi Contoh Reformasi Cepat, Airlangga Pamerkan ke OECD
-
Bantuan Logistik Rp600 Juta Mengalir ke Wilayah Terdampak Banjir di Sumatra
-
Kisah Muhammad Yusuf, AgenBRILink Sebatik yang Permudah Akses Keuangan Masyarakat Perbatasan
-
Meski Ada Israel, Airlangga Ngotot Indonesia Tetap Masuk Keanggotaan OECD
-
Harga Minyak Menguat Lagi: AS Bersiap Tambah Pencegatan Kapal Tanker Venezuela
-
Cara Mendapatkan Promo Shopee 12.12, Trik Jitu Biar Gak Kehabisan Diskon
-
Harga Tiket Pesawat Meroket Meski Pemerintah Bilang Ada Diskon Nataru, Apa yang Terjadi?