Suara.com - Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan mengatakan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jangan sampai melukai keadilan tertinggi. Dia meminta agar undang-undang tersebut bisa dilaksanakan sejujur-jujurnya.
"Harapan kita tentunya bagaimana penegak hukum dapat melaksanakan ini dengan hati-hati dengan adil. Jangan sampai melukai keadilan yang tertinggi. Ini yang saya kira penting yang harus kita garis bawahi atau laksanakan," kata Otto dalam Seminar Nasional bertajuk "Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi" yang digelar oleh Katadata Insight Center di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis (14/11).
Otto menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang kerap mengundang perdebatan. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Dia menyebut frasa perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 tersebut oleh sebagian orang diminta agar dapat dirumuskan kembali supaya dapat memenuhi unsur pidana. Pasal 2 tersebut dinilai terlalu lentur karena tidak mendapatkan actus reus tentang unsur perbuatan melawan hukumnya.
Kendati begitu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa frasa tersebut tidak lentur karena unsur perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan merugikan negara sudah termaktub di dalam pasal tersebut.
"Apakah tidak dipertimbangkan? Business Judgment Rules harus dipertimbangkan tapi jangan juga digunakan untuk menutupi perbuatan pidana itu. (Jadi) selalu ada dua sisi," ungkapnya.
Untuk itu, Otto mengatakan bahwa pelaksanaan UU ini harus dilakukan dengan hati-hati dan adil. Sebab, jika ditegakkan dengan benar dapat menjerat koruptor.
"Kalau dilaksanakan dengan hati-hati dan adil itu sebenarnya benar demikian kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia betul-betul melakukan perbuatan itu," ujar dia.
Sementara itu, jika menarik ke belakang, Wakil Ketua KPK 2007-2011 Chandra Hamzah mengatakan frasa tiap perbuatan dalam pasal 2 ayat 1 Tahun 1957 yang merupakan asal usul Pasal 2 UU Tipikor 1999 tidak memenuhi actus reus. Semula, pasal-pasal ini diperuntukkan bagi pihak swasta.
Sementara pasal 3 digunakan untuk pegawai negeri atau pejabat negara, di mana bunyinya adalah: setiap orang menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
"Secara historical dan kontekstual, asal muasal pasal 2 dan pasal 3(1) UU Tipikor ditujukan antara lain untuk mengantisipasi perbuatan curang terkait dengan nasionalisasi perusahaan asing di tahun 1950-an," terang Chandra, dalam kesempatan yang sama.
"Jadi nenek moyangnya Pasal 1 dan 3 UU Tipikor adalah akrobatik yuridis karena ada oknum yang tiba-tiba kaya padahal tak memiliki usaha," tambahnya.
Chandra mengatakan setiap negara harus memiliki istilah yang sama dalam memutuskan perkara memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak. Negara-negara lain di dunia menyepakatinya dengan istilah suap bukan kerugian negara.
"Dalam rezim hukum negara mana yang ada frasa kerugian negara? Untuk MLA ke negara lain saat kerja sama penyidikan di Amerika Serikat, (namanya) suap. Vocabulary-nya sama, suap," tutur dia.
Untuk itulah, dalam konferensi negara-negara PBB dalam pemberantasan korupsi diusulkan untuk menghapus pasal 2(1) UU Tipikor. Kemudian mengganti rumusan Pasal 3 UU Tipikor dengan rumusan baru berdasarkan norma yang termuat dalam Article 19 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yaitu: menghilangkan frasa: “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dan mengganti kata “Setiap Orang” dengan kata “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.”
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Menkeu Purbaya Mau Hilangkan Pihak Asing di Coretax, Pilih Hacker Indonesia
-
BPJS Watch Ungkap Dugaan Anggota Partai Diloloskan di Seleksi Calon Direksi dan Dewas BPJS
-
Proses Bermasalah, BPJS Watch Duga Ada Intervensi DPR di Seleksi Dewas dan Direksi BPJS 20262031
-
Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
-
Literasi Keuangan dengan Cara Baru Biar Makin Melek Finansial
-
Bahlil: Hilirisasi Harus Berkeadilan, Daerah Wajib Dapat Porsi Ekonomi Besar
-
Menkeu Purbaya Akhirnya Ungkap Biang Kerok Masalah Coretax, Janji Selesai Awal 2026
-
Setahun Berjalan, Hilirisasi Kementerian ESDM Dorong Terciptanya 276 Ribu Lapangan Kerja Baru
-
Bahlil Dorong Hilirisasi Berkeadilan: Daerah Harus Nikmati Manfaat Ekonomi Lebih Besar
-
ESDM Perkuat Program PLTSa, Biogas, dan Biomassa Demi Wujudkan Transisi Energi Hijau untuk Rakyat