"Pajak yang dirancang dengan baik bukan hanya tentang mengumpulkan uang, melainkan juga bagaimana mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mewujudkan ekonomi yang lebih efisien dan adil."
Suara.com - Kutipan tersebut dilontarkan oleh peraih Nobel, Joseph E. Stiglitz, pada tahun 2012 dalam bukunya, The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future. Buku ini ia tulis ketika pemberontakan meletus di Tunisia, Libya, dan Mesir, serta puncak gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat. Sederet peristiwa yang menggambarkan puncak ketidakpercayaan publik.
Pernyataan ini bukan sekedar postulat teoretis, melainkan bisa menjadi salah satu fondasi dari arah ekonomi nasional di masa depan, masa di mana transaksi fisik makin ditinggalkan, digantikan oleh ranah digital yang tidak terbatas.
Dengan perkembangan yang masif ini, kepercayaan menjadi ‘mata uang’ yang tidak tergantikan, dan efisiensi bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.
Indonesia yang terus bertansformasi secara digital dengan pesat, hingga kini terus beradaptasi guna menentukan fondasi fiskal yang lebih kokoh untuk mendanai cita-cita besar, seraya bergulat dengan tantangan yang melekat pada perubahan itu sendiri.
Evolusi Lanskap Fiskal, Dari Kertas ke Algoritma
Sejak dijalankan pada 1984, arsitektur perpajakan Indonesia sangat bergantung pada model self-assessment. Meskipun menempatkan kepercayaan pada wajib pajak, model ini secara inheren membuka celah bagi shadow economy (aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak terpajaki).
Kebangkitan e-commerce dalam dekade terakhir semakin memperlebar celah ini. Jutaan transaksi terjadi di ruang virtual, menghasilkan pendapatan riil bagi para pelaku usaha, yang sayangnya, seringkali tidak terdeteksi radar fiskal negara.
Pemerintah lantas mulai menggeser paradigma, sebagai respon adaptif terhadap perkembangan ini. Alih-alih hanya mengejar wajib pajak secara individual, negara mulai memanfaatkan teknologi untuk menjadikan platform e-commerce sebagai mitra pemungutan.
Langkah ini ditandai kebijakan yang 'merangkul' platform sebagai pemungut PPh Pasal 22 dan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Cukup revolusioner, karena langkah ini didesain secara bijak dengan mengecualikan pelaku usaha mikro beromzet di bawah Rp 500 juta. Sebuah kebijakan yang bertujuan melindungi segmen paling rentan dalam ekosistem digital.
Baca Juga: Sri Mulyani Tetapkan Target Ambisius: Ekonomi RI Dibidik Tumbuh 5,4% di 2026, Langkah Awal Menuju 8%
Hasilnya pun mulai terlihat.
Pada 2023 lalu, hanya dari penerimaan dari PPN PMSE saja sudah menyumbang sekitar Rp 13,87 triliun ke kas negara. Nilai tersebut berasal dari 139 pelaku usaha digital (Kementerian Keuangan, 2024), sebuah bukti sahih bahwa digitalisasi adalah keran pemasukan baru yang sangat potensial.
Potensi Fiskal yang Belum Tergali Penuh
Laporan bertajuk e-conomy SEA yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2023 lalu memproyeksikan nilai transaksi digital Indonesia akan terus melonjak, dari US$ 82 miliar (berkisar Rp 1.330 triliun) pada 2023 menjadi US$ 360 miliar (sekitar Rp 5.680 triliun) pada tahun 2030, yang menandakan bahwa momen digitalisasi di Indonesia kini tengah melaju kencang, ditopang dengan e-commerce sebagai mesin utama, dilengkapi dukungan pertumbuhan kuat di sektor fintech, layanan on-demand, dan media digital.
Infrastruktur pendukung terkait juga turut berkembang pesat. Seperti QRIS yang saat ini sudah menjelma sebagai metode bayar yang lazim sekaligus menjadi urat nadi transaksi ritel. Bank Indonesia mencatat, pada kuartal I 2024, jumlah penggunaan QRIS tembus lebih dari 50 juta dengan volume transaksi tahunan menembus puluhan triliun rupiah. Fenomena ini menunjukkan besarnya penetrasi digital dalam negeri, mulai dari level mikro. Pemerintah bergerak cepat, guna memperluas basis pajak dan menekan shadow economy dengan memperkenalkan regulasi yang mengharuskan e-commerce memotong PPh final sebesar 0,5% dari nilai penjualan untuk disetorkan ke negara (Reuters, 2024).
Secara agregat, penerimaan negara menunjukkan pertumbuhan positif sekitar 10,9% menjadi Rp 1.210,19 pada semester I 2025. Angka ini adalah sinyal yang menunjukkan bahwa digitalisasi bukan lagi sekadar tren, melainkan telah menjadi salah satu pilar fundamental ketahanan fiskal negara.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Kementerian ESDM Audit Tambang Emas Martabe yang Terafiliasi ASII, Diduga Perparah Banjir Sumatera
-
Perjanjian Dagang Terancam Batal, ESDM Tetap Akan Impor Migas AS
-
PLTU Labuhan Angin dan Pangkalan Susu Tetap Beroperasi di Tengah Banjir Sumut
-
Rupiah Kokoh Lawan Dolar AS pada Hari Ini, Tembus Level Rp 16.646
-
ESDM Mau Perpanjang Kebijakan Pembelian BBM Subsidi Tanpa QR Code di Aceh, Sumut, Sumbar
-
Danantara Rayu Yordania Guyur Investasi di Sektor Infrastruktur Hingga Energi
-
KB Bank dan Intiland Sepakati Pembiayaan Rp250 Miliar untuk Kawasan Industri
-
Klaim Asuransi Bencana Sumatra Nyaris Rp1 Triliun, Ini Rinciannya
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
Pindar dan Rentenir Bikin Ketar-ketir, Mengapa Masih Digemari Masyarakat?