Bisnis / Keuangan
Jum'at, 26 September 2025 | 07:49 WIB
Petugas salah satu tempat penukaran mata uang asing menunjukkan uang rupiah dan dolar AS, Jakarta, Selasa (14/1/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  •    Rupiah berpotensi melemah menuju Rp17.000 karena ketidakpastian global

  •    Ketegangan geopolitik dan kebijakan The Fed menekan nilai tukar rupiah

  •    Isu Tax Amnesty juga menimbulkan sentimen negatif terhadap pasar domestik

Suara.com - Nilai tukar rupiah diramal akan menuju level terendah Rp 17.000 setelah krisis moneter. Hal tidak lepas dari ketidakpastian global yang menghantui perekonomian dunia.

"Rupiah berpotensi melemah ke arah Rp17.000 per dolar AS jika ketidakpastian global terus berlanjut dan isu tax amnesty menimbulkan respon negatif di pasar. Namun, stabilisasi bisa terjadi bila pemerintah mampu menjaga kepercayaan investor melalui konsistensi kebijakan fiskal," ujar Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).

Ia menjelaskan, pelemahan rupiah kali ini tidak lepas dari kombinasi faktor eksternal dan internal. Salah satunya adalah memanasnya ketegangan geopolitik di Eropa.

Petugas salah satu tempat penukaran mata uang asing menunjukkan uang rupiah dan dolar AS, Jakarta, Selasa (14/1/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

"Ketegangan geopolitik kembali meningkat setelah Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya di PBB menyampaikan nada agresif terhadap Rusia. Trump memperingatkan negara-negara Eropa agar tidak membeli minyak Rusia dan membuka kemungkinan sanksi baru yang menargetkan energi," kata Ibrahim.

Menurutnya, meski belum ada langkah konkret, retorika tersebut meningkatkan ketidakpastian di pasar. Investor khawatir sanksi lebih keras akan mengganggu ekspor energi Rusia dan memicu pembalasan.

Di sisi lain, Ukraina juga terus menggencarkan serangan terhadap infrastruktur energi Rusia, membuat risiko suplai energi global semakin besar.

Selain geopolitik, kebijakan bank sentral AS juga ikut memberi tekanan. Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan keputusan suku bunga tetap bergantung pada data, tanpa jalur yang pasti.

Meskipun bias cenderung dovish, Powell menegaskan pelonggaran yang terlalu cepat bisa kembali memicu inflasi.

Dari sisi domestik, wacana pemerintah terkait pengampunan pajak (tax amnesty) jilid 3 juga menjadi sorotan pasar. DPR memasukkan RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas 2026, meski Menteri Keuangan menegaskan tidak mendukung kebijakan tersebut karena berisiko merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak.

Baca Juga: Penyebab Rupiah Loyo Hingga ke Level Rp 16.700 per USD

Load More