- Hubungan China-Asia Tenggara berada dalam persimpangan kritis.
- Negara-negara Asia Tenggara semakin bergantung pada China sebagai mitra dagang dan sumber investasi terbesar.
- Ekspansi pengaruh China, baik melalui inisiatif infrastruktur maupun klaim teritorial, memicu kekhawatiran serius tentang kedaulatan dan stabilitas regional.
Suara.com - Hubungan China dengan Asia Tenggara kini memasuki babak paling kompleks, membawa dilema antara keuntungan ekonomi yang masif dan risiko geopolitik
Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), mengungkap strategi cerdik China. Sejak era Presiden Xi Jinping, China meningkatkan inisiatif ekonomi, politik, dan diplomasi untuk memperkuat klaim teritorialnya di Laut China Selatan (LCS) dan Selat Taiwan.
Johanes menyoroti temuan riset FSI yang menyebut China sengaja mendekati negara yang sedang menjabat sebagai Ketua ASEAN. "Hal ini karena posisi sebagai ketua ASEAN merupakan posisi yang sangat strategis, khususnya dalam membangun konsensus, mempersiapkan agenda, dan melakukan resolusi konflik," jelas Johanes.
Contohnya, kedekatan Malaysia dengan RRC disebut menjadi kunci keberhasilan Malaysia sebagai ketua ASEAN tahun ini dalam memediasi konflik antara Thailand dan Kamboja. Namun, Johanes memperingatkan bahwa kedekatan berlebihan berpotensi melumpuhkan ASEAN dalam ketegangan yang melibatkan RRC secara langsung, seperti ketika China melakukan tindakan agresif terhadap Filipina.
Profesor Ian Chong dari National University of Singapore (hadir secara daring) mengingatkan bahwa RRC yang dihadapi Asia Tenggara saat ini berbeda dari era 1990-an; RRC kini jauh lebih kuat dan ambisius. Salah satu isu paling kompleks adalah sengketa di LCS.
Ian menyoroti masalah fundamental: keputusan China untuk tidak menghargai hasil keputusan Arbitrase Internasional tahun 2016, meskipun China adalah penandatangan UNCLOS. "Ini menimbulkan permasalahan karena bagi negara-negara Asia Tenggara, kepastian dan kejelasan hukum merupakan salah satu kunci yang diandalkan untuk memaksa negara-negara besar lebih menahan diri," tegas Ian.
Sementara itu, Broto Wardoyo dari Universitas Indonesia memiliki pandangan yang lebih santai, menyebut kompleksitas pengambilan keputusan di ASEAN akan menghalangi China untuk memaksa keputusan bulat. Ia berpendapat, strategi paling tepat bagi China adalah menjaga status quo.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
Terkini
-
Siap-siap! Liburan Nataru Harga Tiket Pesawat Turun 14 Persen
-
Pasokan Listrik yang Andal Dinilai Jadi Penentu Peningkatan Produksi Migas
-
Pemicu IHSG Terus Bergerak Loyo dalam Dua Hari Ini
-
Menkeu Purbaya Ungkap Isi Pertemuan dengan Airlangga, Ini Bocorannya
-
Bank Mandiri Dukung Peluncuran KMILN, Akselerasi Layanan Diaspora Melalui Livin by Mandiri
-
Lawan Impor Kakao RI, COCO Lakukan Diversifikasi Besar-besaran
-
Bukan Hanya Produk, Tapi Proses! Mengapa Banyak UMKM Tidak Bertahan Lama?
-
Surplus Dagang Tembus 5 Tahun Lebih, RI Makin Untung Lawan AS dan India
-
Nilai Tukar Rupiah Menguat Berkat Inflasi yang Terkendali
-
Harga Beras Anjlok di September, Begini Datanya