Bisnis / Keuangan
Jum'at, 03 Oktober 2025 | 19:13 WIB
TII mengungkapkan bahwa tata kelola BUMN sangat kental dengan bagi-bagi kekuasaan politik, di mana 165 dari 562 posisi komisaris di BUMN diduduki oleh politisi. Foto Antara.
Baca 10 detik
  • Hssil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menemukan fenomena komisaris rasa politisi.
  • Di mana 165 dari 562 posisi komisaris di BUMN diduduki oleh politisi.
  • Penelitian yang dilakukan dari 13 Agustus hingga 25 September 2025 ini mencakup 59 BUMN holding dan 60 sub holding.

Suara.com - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan tajam setelah hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menemukan fenomena komisaris rasa politisi.

TII mengungkapkan bahwa tata kelola BUMN sangat kental dengan bagi-bagi kekuasaan politik, di mana 165 dari 562 posisi komisaris di BUMN diduduki oleh politisi.

Penelitian yang dilakukan dari 13 Agustus hingga 25 September 2025 ini mencakup 59 BUMN holding dan 60 sub holding.

Peneliti TII, Asri Widayati, memaparkan bahwa komposisi komisaris di BUMN didominasi oleh dua kelompok non-profesional. "Komisaris di holding BUMN, tata kelola BUMN dikuasai lebih banyak oleh birokrat (172 orang) dan politisi (165 orang)," kata Asri dikutip dari kanal YouTube Tranparency International Indonesia, Jumat (3/10/2025).

Ironisnya, kalangan profesional yang seharusnya menjadi pilar pengawasan justru semakin terpinggirkan. Berdasarkan data di level holding, hanya 14,9 persen yang berlatar belakang profesional, sementara di level sub holding, jumlahnya sedikit lebih baik, yakni 32,1 persen.

TII menilai kondisi ini menunjukkan tata kelola jabatan di BUMN masih kental dengan skema patronase sebagai imbalan atas dukungan politik.

Dari 165 politisi yang duduk di kursi komisaris, TII memetakan sebanyak 104 orang adalah kader partai dan 61 orang merupakan relawan politik.

Yang menarik perhatian, di antara kader partai, Partai Gerindra terlihat paling mendominasi. Partai besutan Presiden Prabowo Subianto itu menyumbang 48,6 persen dari total kader partai yang menjadi komisaris, jauh melampaui partai lain yang berada di bawah 10 persen, seperti Demokrat (9,2 persen), Golkar (8,3 persen), serta PAN, PDI-P, dan PSI (masing-masing 5,5 persen).

TII menyoroti risiko serius dari dominasi politisi dan birokrat ini, terutama potensi konflik kepentingan yang dapat menjadi pemicu tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Poin-poin Utama UU BUMN: Resmi Disahkan DPR RI, Selamat Tinggal Kementerian BUMN

"Birokrat dinilai memiliki konflik kepentingan karena dia bertindak sebagai regulator sekaligus eksekutor. Mungkin ini akan banyak korupsinya karena konflik kepentingan adalah jalan atau area risiko menujui tindak pidana korupsi," tutup Asri.

Load More