- Salah satu sektor yang tumbuh pesat adalah industri kuliner.
- Berdasarkan data realisasi investasi hingga triwulan II tahun 2025 mencapai Rp3,58 triliun.
- Penanaman modal dalam negeri (PMDN) masih mendominasi hingga 96,77 persen. Sektor waralaba makanan menempati posisi keempat terbesar.
Suara.com - Di tengah tantangan ekonomi yang masih membayangi, Aceh mulai membuka diri terhadap peluang investasi baru. Salah satu sektor yang tumbuh pesat adalah industri kuliner, yang tidak hanya mencerminkan kekayaan cita rasa lokal, tetapi juga menjadi jembatan antara pelaku usaha daerah dan mitra global.
Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, realisasi investasi hingga triwulan II tahun 2025 mencapai Rp3,58 triliun, menempatkan Aceh di posisi ke-28 dari 38 provinsi di Indonesia.
Dari total tersebut, penanaman modal dalam negeri (PMDN) masih mendominasi hingga 96,77 persen. Sektor waralaba makanan menempati posisi keempat terbesar dengan nilai Rp326 miliar atau sekitar 15,6 persen.
Bagi Pemerintah Kota Banda Aceh, tren ini menjadi sinyal positif dalam memperkuat fondasi ekonomi lokal. Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pihak agar kota ini semakin terbuka terhadap peluang investasi.
Sektor kuliner menjadi salah satu magnet utama pertumbuhan investasi di Banda Aceh. Tren ini terlihat dari semakin maraknya kehadiran berbagai brand dan usaha kuliner, termasuk yang berskala multinasional.
“Kita juga harus berkolaborasi bersama-sama untuk mendatangkan investasi dari luar. Artinya, kota ini harus bisa lebih terbuka ke depan dan membuat orang nyaman supaya mau berinvestasi di Banda Aceh. Itulah yang sedang kita perjuangkan,” ungkap Illiza kepada wartawan, belum lama ini.
“Kalau kita lihat di bidang kuliner (restoran), investasinya terus meningkat. Jadi pilihan orang untuk berinvestasi di bidang kuliner ini semakin bertambah,” tambahnya.
Meski menunjukkan tren positif, Aceh masih menghadapi tantangan ekonomi yang besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, tingkat kemiskinan pada Februari 2025 tercatat 14,45 persen, dengan lebih dari 800 ribu penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah pengangguran juga meningkat menjadi 149 ribu orang, menandakan masih terbatasnya lapangan kerja produktif di sektor formal.
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal), Masriadi Sambo, menyebut Aceh kini tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera. “Angka pengangguran 149.000 penduduk per Februari 2025 terus meningkat dari tahun ke tahun,” ungkapnya.
Baca Juga: Ritel Besar vs Warung Kecil: Kemenko PM Siapkan Aturan Main Baru Biar UMKM Nggak Tumbang!
Kondisi ini diperburuk dengan melemahnya daya beli masyarakat, yang menyebabkan banyak sektor ekonomi tertekan. Selain itu, aksi boikot terhadap produk tertentu, yang melibatkan rantai pasok dan tenaga kerja lokal, turut memperburuk situasi. Produk-produk yang seharusnya memperkuat ekonomi daerah justru kesulitan bertahan di pasar.
Tren pertumbuhan sektor kuliner dan meningkatnya minat investor menunjukkan bahwa strategi untuk memperkuat ekonomi Aceh tidak cukup hanya dengan menarik arus investasi baru. Tantangannya kini adalah memastikan agar investasi yang sudah berjalan juga menciptakan manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
Pemerintah daerah bersama pelaku usaha perlu membangun ekosistem ekonomi yang tidak sekedar berorientasi pada modal, namun juga memberdayakan pelaku lokal mulai dari UMKM, petani, hingga pemasok di rantai pasok industri. Dengan cara ini, pertumbuha ekonomi tidak hanya terasa di pusat tetapi juga menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.
Peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kondisi ekonomi yang tidak stabil turut mempengaruhi perusahaan yang bergantung pada rantai pasok lokal.
“Bagi perusahaan yang mengandalkan 70% pasokan dari pemasok lokal, situasi ini dapat sangat mempengaruhi kelangsungan operasional mereka,” ujarnya.
Menurut Yusuf, hubungan erat antara perusahaan besar dan pemasok lokal sebenarnya memberi banyak manfaat, mulai dari pendapatan stabil bagi petani dan pelaku UMKM, transfer teknologi, hingga perluasan pasar. Namun, ia menekankan bahwa keberlanjutan hubungan ini bergantung pada dukungan pasar domestik.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
Terkini
-
Harga Emas Pegadaian Melambung Dua Hari Beruntun, Galeri24 dan UBS Kompak
-
Skema Kecebong Pindar Masih Hidup, Ini Syarat Ketat dari OJK
-
Mengatasi MFA ASN Digital Bermasalah, Sulit Login dan Lupa Password
-
RUPSLB Bank Mandiri Mau Ganti Susunan Pengurus, Ini Bocorannya
-
Harga Emas Melejit di 2026, Masih Relevan untuk Investasi?
-
Asuransi Sinar Mas Bayarkan Klaim Kendaraan Rp1,07 Miliar Korban Banjir Sumut
-
SMGR Raih Skor 94,79 dari Keterbukaan Informasi
-
Menaker Mau Tekan Kesenjangan Upah Lewat Rentang Alpha, Solusi atau Masalah Baru?
-
Pati Singkong Bisa Jadi Solusi Penumpukan Sampah di TPA
-
BRI Terus Salurkan Bantuan Bencana di Sumatra, Jangkau Lebih dari 70.000 Masyarakat Terdampak