Bisnis / Makro
Senin, 29 Desember 2025 | 13:46 WIB
Ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan krusial. Di tengah pertumbuhannya yang disebut bagai keajaiban, pemerintah berencana menghentikan pemberian insentif sektor ini. Desain: Syahda-Suara.com
Baca 10 detik
  • Pemerintah berencana menghentikan pemberian insentif mobil listrik pada tahun 2026.
  • Menko Perekonomian dalam beberapa kesempatan mengatakan insentif yang selama ini dinikmati oleh kendaraan listrik akan dihentikan.
  • Pertumbuhan populasi kendaraan listrik di Indonesia melesat 78 persen dari 116.000 unit pada 2023 menjadi 207.000 unit pada 2024.

Suara.com - Ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan krusial. Di tengah pertumbuhannya yang disebut bagai keajaiban, pemerintah berencana menghentikan bahan bakar utamanya: insentif.

Ya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa mulai tahun 2026 insentif yang selama ini dinikmati oleh kendaraan listrik akan dihentikan.

Tapi jika insentif dihentikan, perwakilan industri mengatakan pertumbuhan kendaraan listrik di Tanah Air akan melambat atau bahkan turun. Lalu, apa yang terjadi dan bagaimana nasib kendaraan listrik di masa depan?

Pertumbuhan ajaib

Sejak setidaknya 2023 lalu, pasar kendaraan ini dimanjakan dengan berbagai stimulus fiskal. Dampaknya cukup besar, berdasarkan data Kemenperin dan Kemenhub, pertumbuhan populasi kendaraan listrik di Indonesia melesat 78 persen dari 116.000 unit pada 2023 menjadi 207.000 unit pada 2024.

Sementara menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo, penjualan mobil listrik secara wholesales tumbuh dari 17.051 unit di 2023 menjadi 43.188 unit di 2024 dan meroket menjadi 82.525 unit di periode Januari - November 2025.

Porsi mobil listrik dalam total penjualan mobil nasional juga naik dari 2 persen di 2023, naik menjadi 5 persen di 2024 dan tembus 12 persen tahun ini.

"Ini keajaiban," kata Presiden Direktur BYD Motor Indonesia Eagle Zhao pada awal Desember ini dalam sebuah acara bersama media di Sentul, Bogor, Jawa Barat.

Ia mengatakan kenaikan penjualan EV hingga 400 persen dan pangsa pasar yang mencapai 12 persen hanya dalam dua tahun adalah sesuatu yang tak pernah terjadi di Asia Tenggara dan bahkan China, pasar dan produsen mobil listrik terbesar di dunia. Di Tiongkok capaian market share 12 persen bisa dicapai dalam tempo delapan tahun.

Baca Juga: Rahasia di Balik Murahnya Harga Mobil China Bekas Rasa Baru di Pasar Otomotif

"Tapi di sini hanya dua tahun. Ini keajaiban," ujar Eagle.

Eagle pantas berapi-api. BYD, sejak masuk ke Indonesia di 2024 lalu, sudah menjadi penguasa pasar EV. Di tahun pertamanya di Indonesia, merek mobil listrik asal Shenzhen Tiongkok itu sukses menjual lebih dari 15.000 unit mobil dan menguasai 36 persen pasar.

Tahun ini lebih dari separuh pasar EV Indonesia dikuasai BYD, dengan penjualan mencapai 40.151 unit hingga November dan berpotensi menembus angka 50.000 unit pada Desember ini.

Ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan krusial. Di tengah pertumbuhannya yang disebut bagai keajaiban, pemerintah berencana menghentikan pemberian insentif sektor ini. Desain: Syahda-Suara.com

Mengapai dihentikan?

Dalam kesempatan yang sama Eagle secara terbuka bilang industri masih butuh insentif dari pemerintah pada 2026. Ia mengatakan insentif diperlukan untuk menjaga momentum pertumbuhan pasar EV Indonesia yang sedang pesat-pesatnya.

"Kami berharap ada insentif di tahun 2026 untuk menjaga momentum di pasar EV," kata Eagle.

Adapun insentif yang akan dihapus pemerintah berfokus pada keistimewaan yang selama ini dinikmati oleh merek-merek yang mengimpor EV secara utuh (CBU) ke Indonesia.

Berikut adalah insentif yang terancam dihapus:

1. Bebas PPnBM: fasilitas PPnBM ditanggung pemerintah untuk impor CBU dan produksi CKD.

2. PPN DTP: Potongan PPN sebesar 10 persen yang membuat pajak hanya 2 persen

3. Bea Masuk 0 Persen: Fasilitas impor CBU tanpa bea masuk bagi produsen yang berkomitmen membangun pabrik di Indonesia

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa tidak akan ada lagi izin impor CBU dengan manfaat fiskal di masa depan. Fokusnya adalah memaksa enam pabrikan yang telah menyanggupi investasi, termasuk BYD untuk, segera memproduksi mobilnya di dalam negeri.

"Tahun ini insyaallah tidak akan lagi kami keluarkan izin CBU dalam konteks skema investasi dengan mendapatkan manfaat," tegas Agus di awal bulan ini.

Selain untuk mendorong produksi mobil listrik lokal, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan insentif kendaraan listrik disetop tahun depan karena anggarannya akan dialihkan untuk membangun proyek ambisius Presiden Prabowo Subianto.

“Dialihkan ke mana? Anggarannya tentu kita punya perencanaan mobil nasional,” ujar Airlangga dalam acara peresmian pabrik VinFast di Subang, Jawa Barat, belum lama ini.

Apa dampaknya?

Dampak penghentian insentif untuk kendaraan listrik akan sangat parah. Kita bisa melihat contoh pada pasar motor listrik yang pada 2025 ambruk akibat dihentikannya insentif berupa subsidi Rp 7 juta dari pemerintah.

Pada 2024 lalu, penjualan motor listrik mencapai di atas 60.000 unit. Tetapi ketika pemerintah pada tahun ini menghentikan subsidi, penjualan hanya di kisaran belasan ribut unit saja.

“Kalau subsidi muncul lagi, tentu penjualan akan meningkat. Tapi kalau tidak ada, ya sulit berharap lebih,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli), Budi Setiyadi pada September lalu.

Sementara menurut kajian CORE dan IESR, penghentian insentif akan punya dampak panjang. Dari sisi konsumen, penghapusan insentif akan membuat harga EV melonjak drastis. Tanpa potongan PPN dan PPnBM, harga mobil listrik di pasar diperkirakan akan naik sekitar 15-25 persen.

Sedangkan dari sisi industri, ada risiko perlambatan investasi. Meskipun produsen besar seperti BYD menyatakan siap mengikuti aturan, pabrikan lain seperti Xpeng Indonesia melalui Hari Arifianto memperingatkan bahwa industri EV tidak bisa dibangun dalam sekejap.

Ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan krusial. Di tengah pertumbuhannya yang disebut bagai keajaiban, pemerintah berencana menghentikan pemberian insentif sektor ini. Desain: Syahda-Suara.com

Lebih jauh lagi, CE0 IESR, Fabby Tumiwa memperingatkan risiko kegagalan target NZE. Sektor transportasi menyumbang emisi besar, dan elektrifikasi adalah tulang punggung penurunannya. Jika adopsi melambat, ketergantungan pada BBM impor dan emisi gas rumah kaca akan tetap tinggi.

“Elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi di sektor transportasi. Kontribusinya bisa mencapai 45–50 persen dari total penurunan emisi sektor transportasi. Akan lebih tinggi lagi manfaatnya jika digabungkan dengan strategi yang lebih komprehensif melalui pendekatan Avoid–Shift–Improve yang menghasilkan penurunan emisi dapat mencapai 76 persen jangka panjang dan sekitar 18 persen pada 2030,” ujar Fabby.

Fabby Tumiwa, menilai bahwa melepas ekosistem EV tanpa subsidi saat ini terlalu dini. Indonesia berisiko kehilangan potensi manfaat ekonomi terintegrasi sebesar Rp544 triliun per tahun jika adopsi EV stagnan. Selain itu, daya saing Indonesia bisa kalah telak dari Thailand dan Vietnam yang masih sangat agresif memberikan insentif demi menarik merek global.

Semenara menurut Toyota, insentif masih diperlukan untuk mendorong pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia. Meski demikian Direktur Marketing PT Toyota Astra Motor (TAM) Jap Ernando Demily pada Desember ini menyatakan pola insentif saat ini harus dievaluasi lagi.

Ia menilai fokus insentif tidak cukup hanya mendorong penjualan jangka pendek, tetapi juga harus memperkuat fondasi industri otomotif di Indonesia. Keseimbangan antara pertumbuhan permintaan dan keberlanjutan industri penting dipikirkan, terutama ketika kenaikan penjualan EV justru terjadi saat pasar otomotif secara keseluruhan terpuruk.

"Kebijakan insentif terutama pada model elektrifikasi yang ada saat ini tentu perlu kita evaluasi bersama, terkait bagaimana dampaknya pada market secara keseluruhan. Lebih dari itu, kebijakan yang diluncurkan baiknya tidak hanya berdampak positif pada market tetapi juga industri otomotif secara keseluruhan. Sehingga pertumbuhan demand masyarakat bisa sejalan dengan pertumbuhan industri nasional," kata Ernando.

Load More