Suara.com - Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik tidak hanya membutuhkan biaya perawatan mahal, tetapi risiko kematian juga tinggi.
Terapi untuk gagal ginjal kronik meliputi transplantasi ginjal, hemodialisis (HD) dan Continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau sering disebut peritoneal dialisis saja.
Dengan metode peritoneal dialisis atau cuci darah sendiri dalam perut, pasien melakukan cuci darah secara mandiri dan tidak perlu ke rumah sakit.
Prof. Budi Hidayat Ketua CHEPS FKMI UI mengatakan data antara Januari 2014-Desember 2015 menunjukkan, jumlah pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir mencapai lebih dari 5 juta jiwa. Total klaim biaya perawatan cuci darah sejak 2014 hingga 2016 mencapai 7,6 triliun.
Menurut dia, CAPD sebenarnya lebih efektif dari segi biaya dibandingkan cuci darah di rumah sakit atau hemodialisis. Selain itu kualitas hidup pasien yang menjalani CAPD umumnya lebih baik, dan tidak membutuhkan klinik atau sarana khusus. Sayangnya di Indonesia, baru 2 persen pasien gagal ginjal yang melakukan tindakan CAPD.
"Data BPJS Januari-Desember 2016 menunjukkan baru 18.597 peserta CAPD dengan total biaya 98,7 miliar. Jauh dibandingkan pasien HD yang mencapai 3,1 juta orang dengan total biaya 3,1 triliun rupiah," ujar dia dalam Forum Diskusi di Kementerian Kesehatan, seperti dalam keterangan resmi yang diterima Suara.com, Kamis (8/3/2018).
Lalu mengapa tindakan CAPD kurang disukai daripada memodialisis? Menurut Prof Budi, setelah diberlakukannya sistem asuransi nasional BPJS klinik hemodialisis berkembang pesat di Indonesia. Ia menduga, praktik ini memang sangat menguntungkan bagi provider atau rumah sakit penyedia layanan hemodialisis.
Alasan lain mengapa CAPD belum menjadi terapi utama bagi penderita gagal ginjal kronik adalah suplai cairan CAPD yang saat ini dimonopoli satu pemasok yaitu Bexter. Fresenius Medical care dan Sanbe Farma sebagai pemasok cairan CAPD saat ini masih dalam proses registrasi.
"Kesimpulannya jika ingin meningkatkan pemakaian CAPD maka dibutuh intervensi radikal yaitu mengubah sistem insentif dan mengubah sistem pembayaran sehingga rumah sakit mau beralih dari hemodialisis ke CAPD," jelas Prof Budi.
Baca Juga: Istri Lebih Mungkin Sumbang Ginjalnya untuk Pasangan
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
-
Gagal di Sea Games 2025, Legenda Timnas Agung Setyabudi Sebut Era Indra Sjafri Telah Berakhir
Terkini
-
Waspada! Pria Alami Sperma Kosong hingga Sulit Punya Buat Hati, Dokter Ungkap Sebabnya
-
Standar Global Layanan Kesehatan Kian Ditentukan oleh Infrastruktur Rumah Sakit
-
Gaya Hidup Anak Muda: Nongkrong, Makan Enak, Tapi Kolesterol Jangan Lupa Dicek
-
Jaringan Layanan Kesehatan Ini Dorong Gaya Hidup Sehat Lewat Semangat "Care in Every Step"
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya