Suara.com - Ketika dipercaya memiliki anak, setiap pasangan tentu sudah tidak sabar untuk mengetahui jenis kelamin buah hatinya. Lelaki atau perempuan? Meski terdengar sepele namun teknologi USG sekalipun tidak bisa memastikan jenis kelamin bayi 100 persen.
Disampaikan dr. Andi Nanis Sacharina Marzuki, Sp.A(K) dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, ada yang terlihat seperti perempuan, tetapi ternyata memiliki benjolan di lipatan paha atau di bibir kelaminnya. Sebaliknya ada bayi yang klitorisnya terlihat lebih besar daripada bayi perempuan umumnya sehingga menyerupai penis.
"Ada juga kasus anak perempuan yang berubah menjadi lelaki di saat mencapai usia pubertas, atau anak perempuan yang tidak tumbuh payudara dan tidak menstruasi sampai usia dewasa. Di bidang kedokteran kondisi ini digolongkan sebagai gangguan perkembangan sistem reproduksi," ujar dr Andi dalam Promosi Doktor di IMERI FKUI, Selasa (15/1/2019).
Gangguan perkembangan sistem reproduksi ini, menurut dia yang menyebabkan tanda seks primer dan sekunder bayi tidak berkembang sebagaimana seharusnya atau juga disebut atipikal.
"Bayi yang secara genetik nya 46,XY seharusnya lahir menjadi bayi lelaki, dan bayi 46,XX seharusnya menjadi bayi perempuan, tetapi pada bayi yang mengalami gangguan perkembangan sistem reproduksi yang atipikal tadi dapat terjadi bayi 46,XY lahir dengan bentuk kelamin luar seperti perempuan, sehingga berisiko dibesarkan sebagai perempuan," imbuh dia.
Bayi ‘perempuan’ ini kemudian saat pubertas akan mengalami perubahan fisik menjadi lelaki, akibat efek androgen atau hormon lelaki yang memang baru meningkat di usia pubertas. Kesalahan cara dibesarkan akan membawa efek dan konflik psikologis dan sosial bagi pasien dan keluarganya.
"Pasien seringkali harus pindah sekolah atau rumah untuk mengurangi konflik itu. Salah satu penyebab kondisi itu adalah kelainan genetik yang disebabkan defek enzim 5 alfa-reduktase tipe 2 (5AR2). Enzim ini berfungsi untuk mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), sehingga pada janin DHT tidak diproduksi atau berkurang produksinya sejak di dalam kandungan," imbuh dia.
DHT sendiri, kata dia, merupakan androgen yang 10 kali lebih kuat daripada testosteron dan berperan penting dalam pembentukan alat kelamin luar dan prostat janin lelaki. Dalam studinya untuk memperoleh gelar Doktor, dr Andi meneliti defek genetik pada gen penyebab kerusakan enzim 5AR2 tadi, yang dinamakan gen SRD5A2.
Ia menganalisis 37 pasien dari seluruh Indonesia yang mengalami kekurangan enzim 5AR2. Dari sampel ini dideteksi 8 mutasi yang belum pernah dilaporkan pada populasi lain di dunia. Dr Andi menemukan sebuah metode untuk mendeteksi kondisi kekurangan enzim 5AR2 sehingga orangtua bisa memberikan pengasuhan yang terbaik bagi buah hatinya.
Baca Juga: Culik Siswi SMP, Bripda Andre Terancam Dibui 15 Tahun dan Dipecat
Selama ini kondisi kekurangan enzim 5AR2 ini baru bisa dideteksi lewat pemeriksaan di luar negeri karena tidak tersedia di Indonesia, sehingga untuk diagnosisnya terkendala biaya dan waktu yang lama.
"Pemeriksaan alternatif yang diteliti adalah pemeriksaan kadar hormon di urin. Pemeriksaan ini tersedia di Jakarta. Dengan bukti hasil penelitian ini diusulkan alur diagnosis baru untuk menggantikan pemeriksaan hormon darah dalam mendeteksi kondisi kekurangan enzim 5AR2," tambah dia.
Pemeriksaan itu digunakan sebagai penapis, bila salah satu pasien atau keluarga dekatnya (ibu, ayah, atau saudara kandung) dianggap positif dalam pemeriksaan itu, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan analisis DNA untuk memastikan diagnosis.
"Hasil penelitian ini membuktikan pemeriksaan hormon di urin pada pasien yang diduga mengalami kekurangan enzim 5AR2 dan salah satu keluarga dekatnya dapat secara akurat mendeteksi kondisi itu, sehingga pasien dapat terdiagnosis lebih dini, karena pemeriksaan tidak invasif, terjangkau, dan akurat," tambah dia.
Dengan demikian kesalahan pola asuh dengan segala konsekuensi medis, psikososial dan psikoseksual dapat dihindari. Seluruh pemeriksaan dalam penelitian ini, kata dr Andi bisa dilakukan di Indonesia, baik pemeriksaan hormonal darah, urin, sampai pada analisis kromosom dan DNA.
Berita Terkait
-
Tak Sengaja Beri Makan Saus Pedas ke Bayinya, Pria Ini Diperiksa Polisi
-
Seorang Ibu Gunakan Mainan Seks Obati Sesak di Dada Bayinya
-
Ini 5 Penyebab Ruam Merah pada Leher Bayi
-
Kuasa Tuhan, Bayi Usia 45 Hari Selamat dari Tsunami Setelah 11 Jam Hilang
-
Bantu Persalinan, Perawat Tarik Kepala Bayi lalu Sembunyikan di Kamar Mayat
Terpopuler
- Pratama Arhan dan Azizah Salsha Dikabarkan Rujuk, Ini Penjelasaan Pengadilan Agama Tigaraksa
- Sahroni Ditemukan Tewas, Dikubur Bersama 4 Anggota Keluarganya di Halaman Belakang Rumah
- Link Resmi Template Brave Pink Hero Green Lovable App, Tren Ubah Foto Jadi Pink Hijau
- Penuhi Tuntutan Demonstran, Ketua DPRA Setuju Aceh Pisah dari Indonesia
- Presiden Prabowo Tunjuk AHY sebagai Wakilnya ke China, Gibran ke Mana?
Pilihan
-
Video Lawas Nadiem Makarim Viral Lagi, Ngaku Lahir di Keluarga Anti Korupsi!
-
Mees Hilgers Main Lagi, Pelatih FC Twente Resmi Dipecat!
-
Mees Hilgers Tiba-tiba Kembali Masuk Starting XI FC Twente, Kok Bisa?
-
Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia vs Taiwan, Trisula Baru Debut?
-
Maulid Nabi Muhammad SAW: Amalkan 3 Doa Ini, Raih Syafaat Rasulullah di Hari Spesial
Terkini
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?
-
Pilih Buah Lokal: Cara Asik Tanamkan Kebiasaan Makan Sehat untuk Anak Sejak Dini
-
Sinshe Modern: Rahasia Sehat Alami dengan Sentuhan Teknologi, Dari Stroke Hingga Program Hamil!
-
7 Gejala Infeksi Saluran Kemih Ancam Pria Usia 40-an, Waspada!