Suara.com - Sebanyak 152 anak-anak di India timur dilaporkan telah meninggal karena wabah 'brain fever' pada Senin (24/6/2019) kemarin. Masyarakat meyakini wabah ini disebabkan oleh zat beracun di dalam buah leci.
Melansir New York Post, anak-anak di negara Bihar ini meninggal akibat terserang Sindrom Ensefalitis Akut (AES), penyakit otak mematikan.
Sementara itu mengutip dari BBC UK, penyakit ini biasanya terjadi selama musim hujan dan gejalanya termasuk demam tinggi, muntah dan kejang. Bahkan, terkadang pasien mengalami koma.
Dokter mengatakan anak-anak antara usia enam bulan dan 15 tahun adalah yang paling parah terkena dampaknya dan seperlima dari mereka yang bertahan harus hidup dengan kelemahan neurologis.
Hingga 2005, dokter mengatakan bahwa sebagian besar kematian disebabkan oleh Japanese ensefalitis, virus yang ditularkan oleh nyamuk. Hanya saja dalam dekade terakhir ini, anak-anak sekarat karena bentuk lain dari ensefalitis virus, penyebab pastinya tidak jelas.
Salah seorang dokter setempat, Dr Arun Shah, mempercayai bahwa kekurangan gizi kronis adalah alasan utama di balik kematian anak-anak di Muzaffarpur, salah satu kota terpadat di Bihar.
Banyak dokter menyalahkan kematian karena memakan buah leci yang ditanam secara lokal dengan perut kosong. Ya, Muzaffarpur merupakan wilayah pertumbuhan leci.
Diyakini buah ini mengandung racun yang mengahambat kemampuan tubuh untuk glukosa sehingga dapat memengaruhi anak-anak muda yang kadar gula darahnya sudah rendah karena mereka telah melewatkan makan malam. Itu sebabnya, kata dokter, banyak korban telah meninggal karena hipoglikemia, atau gula darah rendah.
"Anak-anak yang menderita kekurangan gizi kronis biasanya mengalami penurunan kadar glikogen dalam hati mereka. Ketika anak-anak ini makan leci mentah, diinduksi hipoglikemia di dalamnya, yang diperburuk oleh racun dalam buah," tutur Dr Shah.
Baca Juga: Dari Terapi Radiasi Hingga Sistem Imun Lemah, Ini Faktor Risiko Tumor Otak
"Hipoglikemia ini bersifat ireversibel dan dapat menghambat fungsi otak kecuali ada intervensi cepat dan tepat waktu dalam bentuk suntikan glukosa."
Dr Shah meyakini wabah yang berulang ini merupakan masalah dari sistem kesehatan masyarakat di Bihar, salah satu negara bagian termiskin di India.
"Pemerintah telah gagal total untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan nutrisi yang tepat dan meningkatkan kesadaran tentang penyakit ini. Tragedi yang sedang berlangsung adalah akibat dari kelalaian administrasi ini."
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah
-
Di Balik Krisis Penyakit Kronis: Mengapa Deteksi Dini Melalui Inovasi Diagnostik Jadi Benteng Utama?