Suara.com - Apakah Ibu Hamil dan Menyusui Boleh Tidak Berpuasa? Ini Kata Ahli Agama
Ada beberapa orang yang termasuk dalam golongan yang diberi keringanan dalam berpuasa. Di antaranya adalah ibu hamil dan ibu menyusui.
Jika perempuan hamil takut janin dalam kandungannya bermasalah karena berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Pun bagi ibu yang masih menyusui anaknya.
Dikutip Suara. dari Rumaysho.com, keputusan ini telah disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui."
(HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hanya saja, bagi mereka yang mendapat keringanan tidak berpuasa, ada kewajiban qada atau membayar utang atau fidyah.
Dalam masalah ini, ada lima pendapat:
Baca Juga: Kisruh Nasi Anjing untuk Warga Priok saat Ramadan
Pendapat pertama: ibu hamil dan menyusui wajib meng-qada puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, jika perempuan hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (bukan anaknya), maka wajib baginya meng-qada puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: menurut pendapat Al Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid, hanya cukup meng-qada saja.
Pendapat ketiga: menurut pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa meng-qaha.
Pendapat keempat: menurut Imam Malik dan ulama Syafi’iyah, ibu hamil wajib meng-qada, sedangkan ibu menyusui wajib meng-qada dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Pendapat kelima: menurut pendapat Ibnu Hazm, baik ibu hamil dan ibu menyusui tidak meng-qada dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin.
Pendapat yang terkuat adalah pendapat ketiga yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa meng-qada.
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,
"Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qada bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): "Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".
Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan perempuan tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa.
Kemudian bagi perempuan hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. (Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)
Dalam perkataan lainnya, Ibnu Abbas menyamakan perempuan hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Beliau pernah meminta perempuan hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan.
Beliau mengatakan,
"Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan." (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih)
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu Umar. Dari Nafi, dia berkata,
"Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan." (Lihat Irwaul Gholil, 4/20, sanadnya shahih)
Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ini.
Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu (sebagai sabda Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam).
Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pratama Arhan dan Azizah Salsha Dikabarkan Rujuk, Ini Penjelasaan Pengadilan Agama Tigaraksa
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
- Buktinya Kuat, Pratama Arhan dan Azizah Salsha Rujuk?
Pilihan
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
-
Waktu Rujuk Hampir Habis! Jumat Minggu Depan Pratama Arhan Harus Ikrar Talak ke Azizah Salsha
-
Nadiem Makarim Jadi Menteri Ke-7 Era Jokowi yang Jadi Tersangka Korupsi, Siapa Aja Pendahulunya?
-
Jadwal dan Link Streaming Timnas Indonesia vs Taiwan Malam Ini di GBT
Terkini
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien
-
Jangan Sepelekan, Mulut Terbuka Saat Tidur pada Anak Bisa Jadi Tanda Masalah Kesehatan Serius!
-
Obat Sakit Gigi Pakai Getah Daun Jarak, Mitos atau Fakta?
-
Pilih Buah Lokal: Cara Asik Tanamkan Kebiasaan Makan Sehat untuk Anak Sejak Dini
-
Sinshe Modern: Rahasia Sehat Alami dengan Sentuhan Teknologi, Dari Stroke Hingga Program Hamil!