Suara.com - Memiliki nafsu makan terlalu besar bisa menyebabkan obesitas hingga diabetes melitus. Dalam istilah medis, rasa lapar yang berlebihan sering disebut juga polifagia atau hyperphagia.
Rasa lapar yang ditimbulkan berbeda dengan peningkatan nafsu makan setelah berolahraga atau aktivitas fisik lainnya. Jika rasa lapar umumnya akan menghilang setelah makan tetapi tidak bagi pengidap polifagia. Lapar akan tetap terasa walaupun sudah makan lebih banyak.
Dilansir dari Healthline, ada beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami polifagia. Di antaranya:
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah gula darah rendah. Meskipun paling sering terjadi pada penderita diabetes, hal itu dapat terjadi pada siapa saja. Gejala hipoglikemia berupa pusing, sakit kepala, tidak bisa berkonsentrasi, gemetar, berkeringat, dan perubahan kepribadian.
2. Hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah suatu kondisi di mana tiroid bekerja terlalu cepat. Tiroid adalah kelenjar pembuat hormon yang mengontrol banyak fungsi tubuh.
Salah satu fungsi hormon tiroid adalah untuk mengontrol metabolisme, sehingga nafsu makan dapat meningkat jika terlalu banyak hormon tiroid. Gejalanya bisa keringat, penurunan berat badan, kegugupan, rambut rontok, dan kesulitan tidur.
3. Sindrom pramenstruasi (PMS)
Baca Juga: Minum Air Bisa Tunda Rasa Lapar dan Hidrasi Kulit, Ini Buktinya
Perubahan hormon yang terkait dengan siklus bulanan seorang wanita dapat membuat perut sangat lapar tepat sebelum mendapatkan menstruasi. Lonjakan estrogen dan progesteron serta penurunan serotonin dapat menyebabkan keinginan kuat akan karbohidrat dan lemak.
4. Kurang tidur
Kurang tidur dapat mempersulit tubuh untuk mengontrol kadar hormon yang mengatur rasa lapar. Selain sangat lapar, juga mungkin makan makanan dengan kalori lebih banyak dari biasanya. Kualitas tidur juga penting. Apnea tidur dan gangguan tidur lainnya juga dapat menyebabkan makan lebih banyak.
5. Stres
Saat stres, tubuh melepaskan sejumlah besar hormon yang disebut kortisol yang bisa membuat rasa lapar. Rasa lapar yang ekstrem saat stres atau cemas mungkin juga merupakan respons emosional. Anda mungkin menggunakan makanan untuk mencoba mengatasi emosi negatif, baik secara sadar maupun tidak sadar.
6. Diet
Berita Terkait
Terpopuler
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 5 Oktober: Ada 20.000 Gems dan Pemain 110-113
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Kedua 6-12 Oktober 2025
- Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Kota Makassar Bulan Oktober 2025
Pilihan
-
Siapa Artem Dolgopyat? Pemimpin Atlet Israel yang Bakal Geruduk Jakarta
-
Seruan Menggetarkan Patrick Kluivert Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
-
Perbandingan Spesifikasi vivo V60 Lite 4G vs vivo V60 Lite 5G, Kenali Apa Bedanya!
-
Dana Transfer Dipangkas, Gubernur Sumbar Minta Pusat Ambil Alih Gaji ASN Daerah Rp373 T!
-
Menkeu Purbaya 'Semprot' Bobby Nasution Cs Usai Protes TKD Dipotong: Perbaiki Dulu Kinerja Belanja!
Terkini
-
Mulai Usia Berapa Anak Boleh Pakai Behel? Ria Ricis Bantah Kabar Moana Pasang Kawat Gigi
-
Varises Mengganggu Penampilan dan Kesehatan? Jangan Panik! Ini Panduan Lengkap Mengatasinya
-
Rahasia Awet Muda Dibongkar! Dokter Indonesia Bakal Kuasai Teknologi Stem Cell Quantum
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya