Suara.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah sepenuhnya menyetujui remdesivir sebagai obat Covid-19, setelah selama ini hanya dijadikan obat dalam kondisi darurat.
Remdesivir disetujui sebagai obat pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit dengan batas usia 12 tahun ke atas dan dengan berat minimal 40 kilogram.
"Pasien rawat inap yang beratnya sekitar (3,5 hingga 40 kilogram) atau yang berusia di bawah 12 tahun masih dapat menerima remdesivir di bawah otorisasi penggunaan darurat, atas kebijaksanaan dokter mereka," jelas Komisaris FDA Dr. Stephen Hahn.
Dilansir Live Science, persetujuan ini didukung oleh data dari berbarapa uji klinis yang telah dinilai secara ketat oleh FDA.
Meski remsesivir di setujui FDA di AS, obat ini bukanlah pengobatan yang sangat efektif, kata Megan Ranney, profesor kedokteran darurat dan kesehatan masyarakat di Brown University di Rhode Island.
"Ini sama sekali bukan obat ajaib. Kami memberikannya kepada pasien Covid karena kami tidak memiliki obat yang lebih baik. yang membuat frustasi," sambungnya.
Hal ini juga disampaikan oleh mantan komisaris asosiasi dengan FDA Peter Lurie, bahwa remdesivir bukanlah bukan terobosna besar.
"Ini adalah obat yang tampak meyakinkan bermanfaat bagi pasien, tetapi ini bukan semacam obat ajaib," ujar Lurie.
Dalam uji coba yang dilihat FDA, remdesivir mengurangi gejala pasien lebih cepat daripada perawatan standar dan secara signifikan mempersingkat masa rawat inap apsien di rumah sakit.
Baca Juga: Studi: Kecemasan Selama Covid-19 Berpengaruh Terhadap Citra Tubuh
Bertentangan dengan hasil itu, uji coba yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan remdesivir tidak secara sginifikan mengurangi waktu rawat inap pasien dan risiko Covid-19 parah. Dan lagi, obat ini tidak meningkatkan kesempatan pasien untuk bertahan hidup.
Tetapi uji coba WHO belum ditinjau oleh rekan sejawat, dan telah menarik beberapa kritik dari para peneliti sejak dipublikasikan secara daring.
Selain itu, Gilead Sciences, perusahaan yang memproduksi remdesivir, berpendapat bahwa studi WHO mungkin agak bias karena dokter dan pasien mengetahui obat mana yang sedang digunakan.
Entah membantu atau tidak, banyak permintaan remsedivir yang melonjak di seluruh dunia, membuat pasokan semakin berkurang.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Body Lotion di Indomaret untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Rawat Garis Penuaan
- 7 Rekomendasi Lipstik Transferproof untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp20 Ribuan
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 November: Ada Beckham 111, Magic Curve, dan Gems
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 6 Tablet RAM 8 GB Paling Murah untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp2 Jutaan
Pilihan
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
-
Catatan Gila Charly van Oosterhout, Pemain Keturunan Indonesia di Ajax: 28 Laga 19 Gol
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Terbaru Update Satgas PASTI OJK: Ada Pindar Terkenal
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
Terkini
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda