Suara.com - Virus corona SARS Cov-2 penyebab sakit Covid-19 telah bermutasi akibat dipengaruhi lingkungan dan dianggap berbeda dari sebelumnya.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa mutasi virus corona terjadi secara alami dan acak. Artinya, tidak sistematis oleh virus itu sendiri dan akan terjadi seleksi.
"Kalau virus bermutasi jadi lemah maka dia akan tereliminasi. Kalau mutasi menyebabkan lebih cocok virus itu dengan lingkungan, maka dia (virus) akan survive. Itu salah satu upaya virus untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan," jelas Wiku dalam webinar BNPB Indonesia, Kamis (24/12/2020).
Sehingga jika virus terus mengalami mutasi, menurut Wiku, mengakibatkan virus makin fit atau sesuai lingkungan. "Tidak harus makin ganas tapi semakin sesuai dengan lingkungannya," imbuh Wiku.
Dalam webinar serupa, Guru besar Ilmu Mikrobiologi Prof. dr. Amin Subandrio. Ph.D, Sp. MK., mengatakan bahwa mutasi memang bisa menimbulkan masalah. Namun dengan mutasi, hal itu juga bisa mempermudah dalam proses identifikasi asal virus.
"Kita juga jadi bisa pelajari pola mutasi yang ada. Dari yang sudah di submit ke Gisaid, kita bisa mengetahui virus yang bersikulasi di Indonesia pola mutasinya masih dekat dengan yang di Wuhan, yang pertama kali ditemukan, Desember 2019. Tapi berbeda secara jelas dari pola mutasi yang ada di Eropa, Afrika, dan Amerika," tuturnya.
"Jadi pola mutasi itu juga semua bergantung dari molekuler epidemiologi. Kita bisa atur bagaimana mengendalikannya," tambah prof. Amin.
Senada dengan Wiku, Prof Amin juga menyatakan bahwa cara virus mempertahankan dirinya sangat berpengaruh dengan lingkungan, termasuk kondisi kesehatan orang yang terinfeksi.
Menurutnya, jika ada usia atau genetik tertentu yang lebih rentan terhadap virus maka mutasi akan lebih mudah terjadi. Sebaliknya, virus tidak akan bisa bermutasi jika imunitas orang yang terinfeksi lebih kuat.
Baca Juga: Apakah Warga yang Tolak Vaksin Covid-19 Akan Disanksi? Begini Penjelasannya
"Jadi virus yang bisa lolos dari orang-orang bisa kebal adalah virus yang kuat. Jadi dengan pelajari pola resistensi virus dan juga pelajari latar belakang genetik terutama Indinesia, bisa diketahui orang-orang mana dengan genetik, etnis mana saja yang lebih rentan terinfeksi," ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Fakta Menarik Skuad Timnas Indonesia Jelang Duel Panas Lawan Arab Saudi
- 15 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 27 September 2025, Kesempatan Raih Pemain OVR 109-113
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
- Rumahnya Dijadikan Tempat Kebaktian, Apa Agama Krisna Mukti?
- Tak Cuma di Indonesia, Ijazah Gibran Jadi 'Gunjingan' Diaspora di Sydney: Banyak yang Membicarakan
Pilihan
-
Misi Bangkit Dikalahkan Persita, Julio Cesar Siap Bangkit Lawan Bangkok United
-
Gelar Pertemuan Tertutup, Ustaz Abu Bakar Baasyir Ungkap Pesan ke Jokowi
-
Momen Langka! Jokowi Cium Tangan Abu Bakar Ba'asyir di Kediamannya di Solo
-
Laga Klasik Timnas Indonesia vs Arab Saudi: Kartu Merah Ismed, Kemilau Boaz Solossa
-
Prabowo 'Ngamuk' Soal Keracunan MBG: Menteri Dipanggil Tengah Malam!
Terkini
-
Risiko Serangan Jantung Tak Pandang Usia, Pentingnya Layanan Terpadu untuk Selamatkan Nyawa
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!
-
Jantung Sehat di Usia Muda: 5 Kebiasaan yang Wajib Kamu Tahu!
-
Infeksi Silang di Rumah Sakit? Linen Medis Antivirus Ini Jadi Solusi!
-
Golden Period Jadi Kunci, RS Ini Siapkan Layanan Cepat Tangani Stroke
-
Nada Tarina Pamer Bekas Jahitan Operasi, Kenapa Skoliosis Lebih Rentan pada Wanita?
-
Apa Itu Tylenol: Obat yang Diklaim Donald Trump Bisa Bikin Autis
-
Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja