Suara.com - Hingga Januari 2021 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat terdapat 16.704 kasus kusta aktif di Indonesia, dan 9,4 persen di antaranya terdiri dari kasus kusta anak.
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri Mycobacterium leprae kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, hingga saluran napas. Biasanya ditandai melemahnya atau mati rasa pada tungkai tangan, kaki, dan diikuti lesi di kulit. Tapi benarkah kusta anak lebih berbahaya dibanding pada orang dewasa?
Dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin dr. Zunarsih Sp.KK mengatakan tidak ada yang mampu meramalkan kecacatan terhadap penderita kusta, termasuk pada anak, karena bakteri penyebab kusta membutuhkan waktu lama untuk berkembang.
"Jadi kumannya itu membelah dari satu menjadi 2 itu butuh beberapa hari sampai 2 minggu," ujar dr. Zunarsih dalam acara temu media di Kemenkes, Jumat (29/1/2021).
Ini artinya saat kusta sudah menyebar pada anak, berarti ada penderita kusta yang sakitnya tidak diobati dan ditangani hingga bertahun-tahun sampai akhirnya menular.
"Jadi kok bisa? Penyakit yang inkubasi kumannya lama, kok sudah banyak ditemukan kasus anak yang menderita kusta," terang dr. Zunarsih.
Hal yang dikhawatirkan apabila sampai terjadi kecacatan pada anak, maka akan lebih mempengaruhi masa depan si anak. Belum lagi stigma negatif yang akan diterima si anak dari lingkungan sekitar.
"Nah, masyarakat meskipun anak itu sudah diobati. Misalnya tipe basah sudah diobati minum obat 12 bulan, kustanya sudah sembuh bercaknya sudah hilang, tapi kecacatannya masih ada tertinggal," ungkap Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI) itu.
Zunarsih yang juga salah satu pengurus Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin IndonesiA (Perdoski) kualitas hidup anak yang menderita kusta, dan meninggalkan kecacatan akan terpengaruh sampai si anak dewasa.
Baca Juga: Perhimpunan Mandiri Kusta : Kusta Adalah Penyakit yang Bisa Disembuhkan
"Jadi masyarakat akan menganggap anak itu sumber penularan, jadi takut tertular, tidak mau bersalaman, kadang anak di sekolah tidak ada guru yang mau menerima. Kalau sudah besar tidak ada jodohnya yang mau menikah, jadi kesulitan mencari pekerjaan," tuturnya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 7 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Alpha Arbutin untuk Hilangkan Flek Hitam di Usia 40 Tahun
- 7 Pilihan Parfum HMNS Terbaik yang Wanginya Meninggalkan Jejak dan Awet
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
-
Tukin Anak Buah Bahlil Naik 100 Persen, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tahu!
-
Menkeu Purbaya Mau Tangkap Pelaku Bisnis Thrifting
Terkini
-
K-Pilates Hadir di Jakarta: Saat Kebugaran, Kecantikan, dan Wellness Jadi Satu
-
Plak, Gusi Berdarah, Gigi Berlubang: Masalah Sehari-Hari yang Jadi Ancaman Nasional?
-
Mudah dan Ampuh, 8 Cara Mengobati Sariawan yang Bisa Dicoba
-
5 Inovasi Gym Modern: Tak Lagi Hanya Soal Bentuk Tubuh dan Otot, Tapi Juga Mental!
-
Dua Pelari Muda dari Komunitas Sukses Naik Podium di Jakarta Running Festival 2025
-
Seberapa Kuat Daya Tahan Tubuh Manusia? Ini Kata Studi Terbaru
-
Langkah Kecil, Dampak Besar: Edukasi SADARI Agar Perempuan Lebih Sadar Deteksi Dini Kanker Payudara
-
Ginjal Rusak Tanpa Gejala? Inovasi Baru Ini Bantu Deteksi Dini dengan Akurat!
-
Apotek Bisa Jadi Garda Depan Edukasi dan Deteksi Dini Stunting, Begini Perannya
-
Tak Sekadar Air Putih, Ini Alasan Artesian Water Jadi Tren Kesehatan Baru