Suara.com - Lebih dari 25 persen populasi dunia atau lebih dari 1,5 miliar orang menghadapi risiko infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth (STH), spesies parasit usus yang telurnya berkembang di tanah sebelum menemukan inang baru.
Penyebab utama tingginya angka infeksi ini adalah kurangnya akses ke fasilitas sanitasi (toilet) yang memadai dan akibatnya lingkungan menjadi tercemar oleh kotoran manusia.
Untungnya, menyadur Medical Xpress, obat cacing yang saat ini ada sangat efektif dan aman.
Terkait hal itu, peneliti dari Syracuse University, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan SUNY Upstate mengukur dampak konsumsi obat cacing selama kehamilan terhadap risiko kematian neonatal dan berat badan lahir rendah.
Studi ini menemukan ibu yang mengonsumsi obat cacing selama hamil menurunkan risiko kematian janin sebesar 14 persen dalam empat minggu pertama setelah lahir.
"Wanita hamil yang menerima obat cacing dikaitkan dengan penurunan 14 persen risiko kematian neonatal, tanpa perbedaan antara negara penularan tinggi dan rendah," kata Bhavneet Walia dari Departemen Kesehatan Masyarakat, Universitas Syracuse, New York, AS.
Tidak hanya itu, studi ini juga menunjukkan pengobatan cacing menurunkan risiko berat badan lahir rendah pada bayi hingga 11 persen, meski cukup bervariasi dalam kaitannya dengan tingkat penularan di berbagai negara.
Jadi, temuan ini mendorong peningkatan upaya global untuk distribusi obat cacing secara luas bagi wanita hamil. Upaya global untuk mengurangi infeksi STH juga dinilai terjangkau, dan manfaatnya jauh lebih besar daripada biaya program.
Selama ini, WHO telah mengoordinasikan pengiriman obat-obatan ke negara-negara yang memintanya. Kemudian, obat ini didistribusikan secara bebas selama kampanye pengobatan massal.
Baca Juga: CEK FAKTA: Benarkah Ada Cacing Atau Ulat Pada Masker Impor Buatan China?
Pemberian obat cacing secara berkala harus tersedia untuk anak-anak dan semua wanita hamil di negara endemis.
Namun, obat cacing bukanlah satu-satunya jawaban. Solusi permanen hanya dapat diperoleh dengan peningkatan substansial dalam akses ke sanitasi, sebuah proses yang biasanya lambat dan mahal.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat