Suara.com - Tindakan pelecehan seksual bukan hanya berisiko terjadi pada perempuan tapi juga laki-laki.
Pada dasarnya, pelecehan seksual terjadi ketika ada paksaan atau tindakan tidak menyenangkan baik secara fisik atau non fisik yang berhubungan dengan seksualitas, kata seksolog dr. Haekal Anshari M.Biomed (AAM).
Tetapi stigma masyarakat terkait budaya patriarki kerap kali menganggap lelaki tetap bisa menikmati hasrat seksual karena merasa terangsang meski dalam tindakan pelecehan.
Dokter Haekal menjelaskan, tubuh manusia sebenarnya bisa merespon langsung setiap kali mendapat rangsangan walaupun seseorang mungkin tidak menginginkannya.
"Secara fisiologis, semua orang kalau misalnya mendapat rangsangan seksual itu pasti tubuhnya memberikan respon. Kalau berdasarkan siklus respon seksual itu ada fase rangsangan, fase datar, orgasme, dan fase resolusi," paparnya dalam siaran langsung #IGLiveCollaboration bersama psikolog Ayu R. Yolandasari beberapa waktu lalu.
Hal tersebut berlaku pada laki-laki juga perempuan ketika mengalami pelecehan seksual. Rangsangan yang dilakukan akan mengakibatkan efek fisiologis dari alat kelamin sehingga ereksi mungkin saja tidak bisa dihindari.
Dokter Haekal juga menyampaikan, jika intensitas rangsangan semakin meningkat, maka bisa terjadi ejakulasi ataupun orgasme.
"Apakah dapat dikatakan si laki-laki tersebut menikmati (rangsangan saat pelecehan seksual)? Belum tentu. Karena sayangnya banyak korban pelecehan, baik itu laki-laki maupun perempuan, saat ini berada di posisi yang tidak aman," ucapnya.
Posisi tidak aman yang dimaksud dokter Haekal adalah saat kasus diajukan ke pengadilan. Menurutnya, korban pelecehan seksual tak jarang justru jadi merasa terpojokan dengan pertanyaan-pertanyaan penegak hukum.
Baca Juga: Kasus Rekam Cowok Sedang Mandi di Hotel Kapsul Bobobox, Pelakunya Lelaki
"Sebelum undang-undang penghapusan kekerasan seksual disahkan. Jadi dalam RUU PKS diatur bagaimana sikap penegak hukum terhadap korban, supaya tidak malah menyalahkan atau menyudutkan korban," ujarnya.
"Bukan menanyakan pertanyaan yang bisa membuat korban terpojokkan. Contohnya, pertanyaan 'mas ketika "dibegituin" terangsang, menikmati ereksi ga?'"
"Pertanyaan seperti itu, justru akan membuat korban menjadi bingung. Dia akan menyalahkan dirinya sendiri karena otak dan hatinya tidak menginginkan kejadiam tersebut, tapi organ kelaminnya karena di rangsang maka memberikan respon fisiologis berupa ereksi," imbuh dokter Haekal.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Gaya Hidup Anak Muda: Nongkrong, Makan Enak, Tapi Kolesterol Jangan Lupa Dicek
-
Jaringan Layanan Kesehatan Ini Dorong Gaya Hidup Sehat Lewat Semangat "Care in Every Step"
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan