Suara.com - Kanker dikenal menjadi salah satu penyakit ganas yang bisa menyebabkan kematian, terutama jika terlambat mendapatkan penanganan medis.
Namun, bagi dokter, tantangannya bukan hanya mengalahkan sel kanker yang tumbuh di dalam tubuh pasiennya. Faktor lain di luar penyakit pasien juga menjadi tantangan tenaga medis dalam penanganan kasus kanker.
Salah satunya mengenai keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dokter spesialis. Penanganan kanker payudara termasuk yang jumlah dokter spesialisnya masih sangat terbatas dan tidak merata di setiap provinsi. Padahal, jumlah kasusnya terus meningkat.
"Kita berhadapan dengan penyakit yang makin sering dan meningkat. Karena sudah nomor 5 (jumlah pasien terbanyak), dulu nomor 13 tahun 2017, lalu naik lagi hingga sekarang yang kelima. Artinya, kita akan semakin sering berhadapan dengan kasus-kasus kanker yang semakin meningkat," kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter spesialis Onkologi Indonesia cabang Jakarta Raya dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD-KHOM., dalam webinar bersama Roche Indonesia, Selasa (2/11/2021).
Selain itu, kanker termasuk penyakit yang rumit dan sering kali menyebabkan komplikasi. Sehingga penangannya tidak cukup hanya dilakukan oleh satu dokter spesialis, kata dokter Cos.
Namun, harus diakuinya bahwa dari segi jumlah juga distribusi ke daerah, dokter radioterapi, radiasi, hingga bedah onkologi masih sangat kurang.
"Karena itu masalah yang menonjol, selain SDM, kita harus membuat peta terkait kapasitas institusi pelayanan dari segi kemampuan untuk melayani jenis berbagai kanker, khususnya untuk kanker payudara," katanya.
Hal itu penting agar pasien kanker bisa dengan mudah mengakses pengobatan kanker. Apalagi, sekitar 70 persen, pasien kanker payudara rata-rata datang ke rumah sakit dalam kondisi stadium lanjut. Kondisi itu tentu bisa mempersulit proses pengobatan.
Dokter Cos menjelaskan, kebanyakan pasien kanker yang terlambat datang ke rumah sakit harus segera dilakukan kemoterapi agar sel kanker tidak meluas ke organ lain. Namun, pemgobatan setiap pasien kanker bisa berbeda-beda.
Baca Juga: Kemenkes Akui Jumlah Dokter yang Tangani Kanker Payudara Masih Kurang
"Maka untuk memberikan kemoterapi yang intensif, tidak bisa satu protokol diberikan kepada semua pasien. Kita harus mampu membedakan, kita tahu bahwa kanker payudara ada empat tipe dan sangat tergantung dari kondisi pasien. Belum lagi kita bicara mengenai kebutuhan regeneratif kemudian imagine, bagaimana kita mengevaluasi kebutuhan," tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan
-
Fenomena Sadfishing di Media Sosial, Bagaimana Cara Mengatasinya?
-
5 Kesalahan Umum Saat Memilih Lagu untuk Anak (dan Cara Benarnya)
-
Heartology Cetak Sejarah: Operasi Jantung Kompleks Tanpa Belah Dada Pertama di Indonesia