Dia mengklaim banyak dari pestisida sintetis yang terdeteksi "dikonfirmasi atau diduga bahan kimia pengganggu endokrin (EDC)".
EDC adalah bahan kimia yang dapat meniru hormon alami kita, menghalangi yang asli dari melakukan pekerjaan mereka dan mengganggu kesuburan normal, kekebalan dan pubertas, misalnya.
Mereka terkait dengan banyak hasil kesehatan manusia yang merugikan, mulai dari kanker hingga diabetes dan obesitas.
Prof Leifert berkata: “Ada bukti yang berkembang bahwa racun semacam itu dapat melemahkan sistem pertahanan kekebalan kita dan mungkin juga kesuburan kita.
“Jika hormon menjadi tidak seimbang, mereka juga dapat berdampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak.
“Buah-buahan, sayuran dan biji-bijian yang dibudidayakan dengan cara konvensional adalah beberapa sumber utama kontaminan lingkungan yang diserap melalui makanan kita.
“Karena diet Mediterania didasarkan pada makanan seperti itu, mereka yang memakannya memiliki asupan kontaminan sepuluh kali lebih tinggi daripada jika diet mereka didasarkan pada makanan yang dibudidayakan secara organik.
“Ikan budidaya dan ikan liar dapat mengandung kontaminan lingkungan, tetapi biasanya dalam jumlah kecil.”
EDC ditemukan di lingkungan dan produk sehari-hari, termasuk plastik, makanan, kosmetik, dan deterjen, misalnya.
Baca Juga: Ragam Makanan untuk Diet, Mulai Sarapan hingga Santap Malam
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengatakan "beberapa bahan kimia pengganggu endokrin yang ditemukan di lingkungan termasuk pestisida tertentu".
Para peneliti studi mengakui bahwa mereka tidak memperhitungkan faktor-faktor lain, seperti kosmetik, yang mungkin telah digunakan oleh para peserta dan dapat mempengaruhi hasilnya.
Chris Seal, seorang profesor dari Universitas Newcastle yang terlibat dalam penelitian ini, mengatakan: "Studi ini memberikan bukti yang jelas bahwa baik pola makan kita dan cara kita memproduksi makanan dapat mempengaruhi tingkat paparan pestisida kimia sintetis dan pada akhirnya kesehatan kita."
Prof Leifert mengatakan temuan tersebut dapat menjelaskan "insiden yang lebih rendah dari kelebihan berat badan/obesitas, sindrom metabolik dan kanker" pada mereka yang makan organik.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Rahasia Awet Muda Dibongkar! Dokter Indonesia Bakal Kuasai Teknologi Stem Cell Quantum
-
Belajar dari Kasus Ameena, Apakah Permen Bisa Membuat Anak Sering Tantrum?
-
Bukan Sekadar Gadget: Keseimbangan Nutrisi, Gerak, dan Emosi Jadi Kunci Bekal Sehat Generasi Alpha
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru