Suara.com - Depresi pada kelompok remaja sangat diremehkan. Bahkan. sekitar dua per tiga remaja yang depresi tidak mendapat perawatan kesehatan mental sama sekali.
Sementara mereka yang mendapatkannya, sebagian besar bergantung pada obat antidepresan, lapor The Conversation.
Namun, pada 2003, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) memperingatkan bahwa penggunaan antidepresan di beberapa bulan awal pada remaja dapat memicu pemikiran dan perilaku bunuh diri.
Tujuan dari peringatan itu adalah untuk mendesak dokter agar memantau pemikira bunuh diri di awal pengobatan pada pasien remaja.
Peringatan ini muncul di mana-mana, baik di TV, internet, iklan cetak dan berita. Sementara yang paling kuat justru muncul di wadah obat itu sendiri.
Namun ternyata, peringatan ini menimbulkan dampak lain yang tidak diinginkan, yakni berkurangnya perawatan kesehatan mental dan peningkatan kasus bunuh diri pada remaja.
Dampak peringatan FDA terhadap kasus bunuh diri pada remaja
Hal ini terbukti dalam penelitian oleh University at Buffalo, Kota New York, yang menganalisis data dari 1990 hingga 2017 tentang kematian bunuh diri oleh remaja dan dewasa muda di Amerika Serikat.
Mereka menemukan bahwa selama periode pra-peringatan, ada tren penurunan yang stabil, mengikuti ketersediaan antidepresan baru.
Baca Juga: Peneliti: Antidepresan Fluvoxamine Dapat Mengurangi Risiko Covid-19 Parah
Tren tersebut berbalik, setelah tahun 2003, kematian bunuh diri remaja meningkat secara signifikan. Lalu peneliti menerapkan temuannya ke seluruh populasi remaja dan dewasa muda di AS.
"Hasil analisis menunjukkan ada hampir 6.000 kematian akibat bunuh diri tambahan hanya dalam enam tahun pertama setelah FDA mengeluarkan peringatan, dari 2005 hingga 2010," jelas peneliti, Ross Koppel, profesor Informatika Biomedis dari University at Buffalo.
Ia melanjutkan bahwa angka tersebut terus meningkat setelahnya.
Temuan ini sejalan dengan semakin banyak penelitian menegaskan bahwa peringatan FDA memiliki efek buruk, yakni menakuti banyak pasien, serta orang tua dan dokter.
Sehingga, mereka menjauh dari obat antidepresan dan psikoterapi yang sebenarnya dapat mengurangi gejala utama depresi.
Menurut peneliti, peringatan tentang antidepresan perlu dievaluasi kembali.
Berita Terkait
Terpopuler
- Kumpulan Prompt Siap Pakai untuk Membuat Miniatur AI Foto Keluarga hingga Diri Sendiri
- Terjawab Teka-teki Apakah Thijs Dallinga Punya Keturunan Indonesia
- Bakal Bersinar? Mees Hilgers Akan Dilatih Eks Barcelona, Bayern dan AC Milan
- Gerhana Bulan Langka 7 September 2025: Cara Lihat dan Jadwal Blood Moon Se-Indo dari WIB-WIT
- Geger Foto Menhut Raja Juli Main Domino Bareng Eks Tersangka Pembalakan Liar, Begini Klarifikasinya
Pilihan
-
Indonesia di Ujung Tanduk, Negara Keturunan Jawa Malah Berpeluang Lolos ke Piala Dunia 2026
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaru September 2025
-
IHSG Jeblok Hingga 1 Persen di Sesi I Perdagangan Selasa Setelah Sertijab Menteri Keuangan
-
19 Tewas di Aksi Demo Anti Korupsi, Eks Persija Jakarta: Pemerintah Pembunuh!
-
Pidato Perpisahan Sri Mulyani: Hormati Ruang Privacy Kami!
Terkini
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas
-
Resistensi Antimikroba Ancam Pasien, Penggunaan Antibiotik Harus Lebih Cerdas
-
Ini Alasan Kenapa Donor Darah Tetap Relevan di Era Modern
-
Dari Kegelapan Menuju Cahaya: Bagaimana Operasi Katarak Gratis Mengubah Hidup Pasien