Suara.com - Berbeda dengan perempuan, pria cenderung tidak berbagi tentang permasalahan kesehatan mentalnya kepada orang lain. Ada beberapa alasan, dari kondisi, stereotip, hingga ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan secara terbuka.
Terlebih, pandangan masyarakat tentang pria yang harus kuat sepanjang waktu, tidak boleh menangis, dan mengeluh atas keadaan mereka.
Tidak mengherankan bila mereka tidak memeriksakan diri atau mencari bantuan bila mengalami masalah kesehatan mental.
"Beberapa penelitian menemukan bahwa pria dengan ciri khas berbasis gender lebih cenderung memiliki masalah kesehatan mental. Tetapi kemungkinan untuk mencari bantuan lebih kecil," kata Konsultan Psikiatri, Kesehatan Mental dan Psikoterapi, di Rumah Sakit Paras JK, Udaipur, Rahul Taneja.
Dilansir Hindustan Times, ia melanjutkan, "ras, diskriminasi, stigma budaya, dan gender adalah alasan paling umum mengapa pria tidak mencari bantuan."
Meminta bantuan ditandai sebagai kelemahan
Banyak pria berpikir bahwa meminta bantuan adalah simbol kelemahan, tetapi mereka cenderung melakukannya jika mereka tahu akan ada kemungkinan timbal balik dan mutualisme, artinya mereka tahu bahwa ada kesempatan untuk membalas budi.
Namun, pada awalnya pria akan mencoba mengatasi masalah seorang diri tanpa bantuan siapa pun.
Cara penanganan kesehatan mental yang berbeda
Baca Juga: Serang Petani Sawit di Kampar, Sekelompok Pria Diduga Preman Bayaran Dibekuk
Taneja mengatakan bahwa pria memiliki 'cara' yang berbeda dalam mengatasi masalah kesehatan mental mereka, alih-alih mengungkapkannya.
Biasanya keluar dalam bentuk frustasi, kemarahan, impulsif, atau berbagai perilaku lainnya, seperti berolahraga, bermain game, gym, atau aktivitas fisik apa pun sebagai bentuk pengalihan.
Pria diajari untuk menyembunyikan perasaan dan emosi
"Pria selalu berusaha menyembunyikan masalah emosional yang kuat, karena mereka melihatnya sebagai sikap 'manly'. Akibatnya, pria mungkin menolak untuk mendapat bantuan yang mereka butuhkan," kata Taneja.
Menurut Taneja, menyembunyikan masalah emosional tersebut bisa berubah menjadi mengerikan, seperti memulai kebiasaan buruk (minum alkohol, merokok, atau percobaan bunuh diri).
"Mereka juga mungkin menjadi kasar karena tekanan emosional yang tertahan," tandas Taneja.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
Terkini
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar
-
Silent Killer Mengintai: 1 dari 3 Orang Indonesia Terancam Kolesterol Tinggi!
-
Jantung Sehat, Hidup Lebih Panjang: Edukasi yang Tak Boleh Ditunda
-
Siloam Hospital Peringati Hari Jantung Sedunia, Soroti Risiko AF dan Stroke di Indonesia
-
Skrining Kanker Payudara Kini Lebih Nyaman: Pemeriksaan 5 Detik untuk Hidup Lebih Lama
-
CEK FAKTA: Ilmuwan China Ciptakan Lem, Bisa Sambung Tulang dalam 3 Menit
-
Risiko Serangan Jantung Tak Pandang Usia, Pentingnya Layanan Terpadu untuk Selamatkan Nyawa
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!