Suara.com - Kasus obesitas yang dialami pemuda asal Tangerang Muhammad Fajri disebut sebagai kejadian langka di Indonesia. Meski begitu, dokter gizi klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Nurul Manikam, Sp.GZ., mengingatkan bahwa setiap orang berpotensi alami obesitas seperti itu.
"Setiap orang tetap punya resiko untuk menjadi obesitas meskipun nggak ada riwayat keluarganya yang obes," kata dokter Nurul ditemui suara.com di RSCM Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Gaya hidup jadi faktor penyebab seseorang bisa alami obesitas. Dokter Nurul menjelaskan bahwa apabila jumlah kalori yang masuk lebih banyak daripada aktivitas fisik, sisa makanan yang dikonsumsi pasti akan disimpan tubuh dalam bentuk lemak.
Sehingga, apabila dirasa sudah makan terlalu banyak, dokter Nurul menyarankan sebaiknya juga perbanyak aktivitas. Namun, ia menyayangkan kondisi yang terjadi saat ini justru banyak fasilitas instan yang mengurangi gerak fisik masyarakat.
"Kalau kita lihat ke mana-mana sekarang pakai kendaraan, malas jalan kaki, males bersepeda, ruang terbuka hijau untuk berolahraga juga terbatas kalau di Jakarta, itu yang menyebabkan seseorang jadi obes. Pemilihan makanan sekarang yang banyak diskon, yang gampang didapat, yang instan, itu juga yang bikin seseorang bisa jadi obes," tutur dokter Nurul.
Walaupun setiap orang berpotensi obesitas, tetapi daya mekanisme tubuh dan kesadaran yang berbeda-beda bisa jadi pembatas bagi seseorang untuk membatasi berat badannya.
"Orang itu punya mekanisme, punya kesadaran diri setelah lewat dari sekian tubuhnya nggak nyaman. Jadi pasti ada usaha untuk menurunkan berat badan, setidaknya membatasi asupan makan atau menambah gerakan tubuh," katanya.
Sayangnya, Fajri memang sempat mengalami depresi hingga motivasi untuk menjaga tubuhnya. Hal itu yang diperkirakan dokter Nurul jadi salah satu faktor yang membuat Fajri tidak peduli dengan dirinya dan membiarkan berat badannya terus bertambah.
"Atau ada kemungkinan lain, mungkin ada kelainan genetik tertentu yang menyebabkan kejadian obesitasnya itu jadi sangat berat, tapi kalau kelainan genetik memang harus dicek khusus. Kita juga lihat apakah ada hormonal yang terganggu, kalau memang iya kemudian apakah ada gangguan kinetik, itu sedang kami cek," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Tak Sekadar Air Putih, Ini Alasan Artesian Water Jadi Tren Kesehatan Baru
-
Vitamin C dan Kolagen: Duo Ampuh untuk Kulit Elastis dan Imunitas Optimal
-
Smart Hospital, Indonesia Mulai Produksi Tempat Tidur Rumah Sakit yang Bisa 'Baca' Kondisi Pasien
-
Tren Minuman Bernutrisi: Dari Jamu ke Collagen Drink, Inovasi Kesehatan yang Jadi Gaya Hidup Baru
-
Perawatan Komprehensif untuk Thalasemia: Dari Transfusi hingga Dukungan Psikologis
-
Indonesia Kaya Tanaman Herbal, Kenapa Produksi Obat Alami Dalam Negeri Lambat?
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter
-
Saat Kesehatan Mata Jadi Tantangan Baru, Ini Pentingnya Vision Care Terjangkau dan Berkelanjutan