Suara.com - Tahi lalat jadi salah satu tanda cikal bakal kanker kulit yang perlu diwaspadai, karena perlahan-lahan bisa berubah jadi sel abnormal yang perlu diantisipasi. Kira-kira, gimana cara mengenali tahi lalat berubah jadi kanker kulit?
Sekjen Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia Dr. M. Yadi Permana, SpB(K)Onk menjelaskan tidak ada waktu pasti berapa lama tahi lalat berubah jadi kanker kulit. Tapi ia mengingatkan, perlu waspada pada perubahan dari tahi lalat.
"Tidak ada patokan (waktu) yang bermakna, yang harus diperhatikan perubahan sifat tahi lalat itu sendiri, batasnya tegas nggak, antara tahi lalat dengan jaringan di sekitarnya," ujar Dr. Yadi saat konferensi pers Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Selasa (1/8/2023).
Lelaki yang juga Wakil Ketua Bidang Organisasi PB IDI itu menjelaskan, tahi lalat yang perlu diwaspadai, yaitu bila mudah berdarah dengan hasrat ingin menggaruk yang cukup kuat dan terus menerus.
"Sering juga kita dapati, mudah berdarah, kesenggol sedikit kemungkinan karena kanker. Kemudian disertai rasa gatal berlebihan, jadi hal seperti itu harus dikonfirmasi tahi lalat disertai gejala, pasien harus datang ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut," papar Dr. Yadi.
Kanker kulit adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel kulit yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi ketika kerusakan DNA pada sel kulit memicu mutasi atau cacat genetik. Akibatnya, sel kulit berkembang biak dengan cepat dan membentuk tumor ganas.
Menurut Dr. Yadi, kanker kulit terbagi dua yakni kanker kulit melanoma dengan prevalensi 4 persen, dan kanker kulit non-melanoma dengan prevalensi 90 persen. Kanker melanoma perlu diwaspadai karena risiko kematiannya yang lebih tinggi.
"Angka kematian yang disebabkan oleh kanker kulit non-melanoma sebesar 1,48 persen, lebih tidak agresif dibandingkan dengan yang melanoma," jelas Dr. Yadi.
Meski begitu, ia membenarkan dibanding jenis kanker lainnya, kanker kulit punya peluang kesembuhan lebih tinggi. Di Indonesia kanker kulit non melanoma menempati urutan ke-15 dari 36 kanker terbanyak.
Baca Juga: Hanum Mega Bongkar Perselingkuhan Suami: Berhubungan Sampai Dengkul Bergetar
"Khusus buat melanoma, memang angka kesembuhan itu lebih rendah ketimbang kanker yang non melanoma," jelas Dr. Yadi.
"Kalau melanoma itu kalau sudah terdiagnosis itu bisa mencapai 10-20 persen angka kematiannya, untungnya persentase melanoma itu sendir hanya 4-5 persen dibandingkan, dibanding 90-95 persen yang non melanoma," sambungnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?