Health / Konsultasi
Senin, 29 September 2025 | 11:00 WIB
ilustrasi garam. (Pexels/Kaboompics)
Baca 10 detik
  • Konsumsi garam masyarakat Indonesia rata-rata dua kali lipat dari batas WHO (5 gram per hari).

  • Kampanye Bijak Garam mendorong penggunaan garam lebih sedikit dan kombinasi dengan MSG untuk menekan asupan natrium tanpa mengorbankan rasa.

  • Edukasi gizi di tempat kerja, seperti program Ajinomoto Health Provider, terbukti meningkatkan hasil MCU karyawan dan mendorong perilaku hidup sehat.

Suara.com - Penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, hingga gangguan jantung sering kali muncul tanpa gejala spesifik, tapi dampaknya serius pada kesehatan. Menurut dr. Yohan Samudra, SpGK, AIFO-K, spesialis gizi klinik RS Premier Bintaro, salah satu pemicu utamanya adalah konsumsi garam berlebih.

Dalam sesi bertajuk “Be Wise in Using Salt” pada Simposium Kesehatan Kerja 2025, ia menjelaskan bahwa penyakit degeneratif ditandai dengan kerusakan sel, jaringan, atau organ tubuh secara perlahan, yang makin diperparah oleh pola hidup tidak sehat dan tingginya asupan natrium.

Data menunjukkan rata-rata orang Indonesia mengonsumsi garam hampir dua kali lipat dari batas aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 gram atau sekitar satu sendok teh per hari. Bahkan, 5 dari 10 orang Indonesia tercatat melampaui angka tersebut. Jika dibiarkan, kebiasaan ini berisiko memicu tekanan darah tinggi yang menetap, hingga berujung pada penyakit kronis.

Sebagai langkah pencegahan, kampanye Bijak Garam mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan garam saat memasak dan menggantinya dengan sedikit monosodium glutamat (MSG).

dr. Yohan Samudra, SpGK, AIFO-K. (dok. Ajinomoto)

Kandungan natrium dalam MSG hanya sepertiga dari garam dapur biasa, sehingga bisa membantu menekan asupan natrium tanpa mengorbankan cita rasa makanan. Cara sederhana ini dinilai efektif menjaga kesehatan sekaligus menurunkan risiko hipertensi dan penyakit jantung.

Tidak hanya soal garam, simposium yang digelar oleh Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (IDKI) juga menyoroti pentingnya edukasi gizi di lingkungan kerja. PT Ajinomoto Indonesia, misalnya, memperkenalkan program Ajinomoto Health Provider yang sukses mendorong perubahan perilaku sehat di kalangan karyawan.

Menurut dr. Rafael Nanda R, MKK, Wakil Sekretaris Pengurus Pusat IDKI, keberhasilan program ini terlihat dari meningkatnya hasil Medical Check-Up (MCU) tahunan karyawan. “Kami melihat adanya perubahan signifikan setelah program berjalan. Edukasi yang konsisten dan pendekatan terstruktur terbukti mampu mendorong pekerja untuk lebih peduli pada kesehatan mereka,” jelasnya.

Peningkatan literasi gizi di tempat kerja juga sejalan dengan upaya mencegah penyakit degeneratif. Bagi pekerja, menjaga asupan makanan harian yang seimbang—tidak kurang, tidak berlebihan—adalah kunci agar tetap sehat dan produktif. Dengan pola makan bijak, olahraga rutin, dan edukasi yang berkelanjutan, risiko penyakit kronis dapat ditekan sehingga kualitas hidup pun meningkat.

Baca Juga: Menkeu Baru Langsung Dapat Tantangan, Beban Cukai Rokok Bisa Picu PHK

Load More