Lifestyle / Komunitas
Kamis, 09 Oktober 2025 | 13:41 WIB
Pondok Pesantren Tebuireng (Instagram/tebuireng.online)

Suara.com - Banyak yang penasaran siapa pendiri Ponpes Tebuireng setelah Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyebut pesantren itu sebagai pondok pesantren dengan bangunan paling ideal di Indonesia.

Pernyataan tersebut berkaitan dengan keamanan bangunan pesantren, terutama setelah peristiwa robohnya bangunan musala di Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo.

Insiden itu tak hanya menimbulkan duka, tetapi juga menjadi pengingat bahwa pembangunan tempat ibadah dan pendidikan harus memenuhi standar keamanan yang layak.

Kini, pemerintah menegaskan agar pesantren yang sedang membangun wajib menghentikan sementara kegiatan pembangunan sebelum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Menurut Dody, dari sekitar 42 ribu pesantren di Indonesia, hanya sekitar 51 pesantren yang memiliki izin bangunan atau PBG tersebut.

Ponpes Tebuireng merupakan salah satu pesantren yang memiliki infrastruktur modern, aman, dan layak.

Pemerintah pun mendorong agar pesantren lain meniru langkah Tebuireng dengan memastikan semua proses pembangunan sesuai aturan.

Berdiri lebih dari seabad yang lalu, pesantren yang berada di Jombang, Jawa Timur ini tetap eksis dan terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Lalu, siapa pendiri Ponpes Tebuireng dan bagaimana sejarah berdirinya? Berikut ulasan lengkapnya.

Baca Juga: Tebuireng Disebut Jadi Contoh Bangunan Pesantren Ideal oleh Menteri PU

Sejarah Berdirinya Pesantren Tebuireng

Asrama Ponpes Tebuireng (Tebuireng Online)

Pondok Pesantren Tebuireng berdiri pada 8 Agustus 1899 di Dusun Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.

Pendiri pesantren ini adalah KH. Muhammad Hasyim Asy'ari, tokoh ulama besar yang kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Nama Tebuireng sendiri berasal dari cerita rakyat setempat. Dahulu, ada warga yang memiliki seekor kerbau berwarna kuning yang kemudian terperosok di rawa penuh lintah.

Setelah ditemukan, kulit kerbau itu berubah menjadi hitam karena dipenuhi lintah, dan sang pemilik berteriak "kebo ireng" (kerbau hitam). Lama-kelamaan, sebutan itu berubah menjadi Tebuireng.

Kiai Hasyim datang ke daerah itu saat masyarakatnya masih diliputi kebiasaan buruk, seperti mabuk-mabukan akibat pengaruh pabrik gula milik asing di sekitar sana.

Melihat kondisi tersebut, beliau merasa terpanggil untuk memperbaiki akhlak masyarakat melalui pendidikan agama.

Load More