Suara.com - Revolusi mental di sektor pertanian menjadi fokus calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) dan calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla (JK). Sektor ini akan dijadikan mainstreaming untuk membangun bangsa Indonesia.
"Dulu Soeharto, Amerika, dan Jerman, menjadikan pertanian sebagai mainstreaming. Baru setelah itu berkembang ke industri yang lain," kata anggota tim pemenangan Jokowi-JK, Arif Budimanta, usai diskusi di Jokowi Center, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (25/5/2014).
Inti dari revolusi mental sektor pertanian yang ditawarkan pasangan Jokowi - JK ialah pemberantasan mafia impor. Mafia impor selama ini dianggap memberatkan masyarakat Indonesia. "Untuk memberantas (mafia impor) itu harus revolusi mental," kata Arif.
Selain itu, revolusi mental dilakukan dengan mengintegrasikan bidang pertanian dengan aspek lain, misalnya infrastruktur. Jadi, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Pekerjaan Umum saling berkoordinasi dengan bidang dan kewenangan masing-masing.
"Jadi Kementerian Pertanian akan berkoordinasi dengan kementerian lain untuk mewujudkan itu. Hingga saat ini, tidak ada yang mampu menyatukan pola supaya sektor pertanian menjadi mainstreaming," tuturnya.
Bila semuanya sudah terintegrasi, kata Arif, stabilitas harga di masyarakat nanti akan terwujud.
"Daya beli masyarakat nantinya bisa digunakan untuk yang lain, misalnya untuk beli rumah, biaya pendidikan dan lain-lain. Sekarang biaya hidup 40-70 persennya itu untuk konsumsi bahan makanan karena harga mahal," tutur Arif.
Dalam kesempatan yang sama, pencetus Jokowi Center Putri K Wardhani menambahkan keseluruhan sektor pertanian harus dirombak. Sebab, menurut dia, pemerintahan sekarang gagal, ditambah lagi dengan banyaknya kasus korupsi, salah satunya kuota impor daging dan kuota impor kedelai.
"Semuanya harus dirombak, revolusi harus bersama karena 50 persen pangan impor itu sudah nggak bisa didiamkan," kata dia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) itu menambahkan sebagai negara ketiga dengan pertumbuhan terbesar, Indonesia harusnya bisa membuat kemakmuran masyarakat.
"Itu belum merefleksikan kemakmuran rakyat kita. Fokus daripada rancangan industri mana yang harus di kedepankan belum ada. Sektor pertanian yang serap tenaga kerja besar tak dapat perhatian. Pangan di indonesia 50 persen di impor, itu yang harus direvolusikan," kata Putri.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
-
Agensi Benarkan Hubungan Tiffany Young dan Byun Yo Han, Pernikahan di Depan Mata?
Terkini
-
Kebahagiaan Orangtua Siswa SMK di Nabire Berkat Program Pendidikan Gratis
-
Sosialisasi Program Pendidikan Gratis, SMK Negeri 2 Nabire Hadirkan Wali Murid
-
BMKG Rilis Peringatan Dini Cuaca Ekstrem di Sejumlah Kota, dari Pekanbaru Hingga Banten
-
Cuaca Hari Ini: Jakarta dan Sekitarnya Diguyur Hujan Ringan, Waspada Banjir
-
Bahlil Tepati Janji, Kirim Genset Hingga Tenda ke Warga Batang Toru & Pulihkan Infrastruktur Energi
-
Mendagri Tito Dampingi Presiden Prabowo Tinjau Banjir Langkat, Fokus Pemulihan Warga
-
Hadiri Final Soekarno Cup 2025 di Bali, Megawati Sampaikan Pesan Anak Muda Harus Dibina
-
Polisi Bongkar Perusak Kebun Teh Pangalengan Bandung, Anggota DPR Acungi Jempol: Harus Diusut Tuntas
-
Tragedi Kalibata Jadi Alarm: Polisi Ingatkan Penagihan Paksa Kendaraan di Jalan Tak Dibenarkan!
-
Bicara Soal Pencopotan Gus Yahya, Cholil Nafis: Bukan Soal Tambang, Tapi Indikasi Penetrasi Zionis