Suara.com - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dikabarkan sudah menyodorkan sejumlah nama yang akan masuk dalam Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK Jilid IV kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari beberapa nama yang terakhir beredar, tak muncul nama mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua.
Meski begitu, Abdullah mengaku siap saja jika pemerintah suatu saat menunjuknya sebagai anggota Pansel, terutama menyusul adanya pro-kontra terkait beberapa nama dalam daftar tersebut. Jika itu terwujud, Abdullah mengaku sudah punya beberapa syarat yang harus dipenuhi serta dilalui oleh para calon pimpinan KPK tersebut.
"Pertama, mengusulkan syarat administrasi yang ketat bagi calon pimpinan KPK," kata Abdullah, saat dihubungi wartawan, Rabu (20/5/2015).
Lebih lanjut, Abdullah menjelaskan bahwa dirinya akan mengusulkan waktu yang cukup lama untuk tracking calon pimpinan KPK. Menurutnya, butuh waktu sekitar satu bulan dan melibatkan semua pihak dalam memberi laporan maupun pengaduan soal calon tersebut. Selain itu, Abdullah pun mengusulkan hal tak lazim, yakni perlunya scanning otak terhadap para calon.
"Jika anggaran memungkinkan, dilakukan scanning otak bagi calon yang sudah sampai tahap wawancara," tambahnya.
Sementara itu dalam syarat administrasi, Abdullah menginginkan semua calon yang pernah berkecimpung di partai politik, baru bisa mencalonkan diri setelah tidak aktif selama 10 tahun. Lalu, bagi semua calon, diharuskan menandatangani pernyataan selama empat tahun tidak berhenti, serta tidak diperkenankan menerima tawaran jabatan publik.
Tak hanya itu, Abdullah ingin mempersyaratkan agar semua calon juga berjanji, setelah masa jabatannya selesai tidak menerima jabatan publik paling cepat satu tahun. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi konflik kepentingan di antara pimpinan KPK dengan BUMN/BUMD maupun kementerian tertentu.
"Menandatanganinya di atas segel. Tidak bisa melanggar, terkecuali karena meninggal, sakit yang parah, atau terkena tindak pidana," tambahnya.
Lebih lanjut, Abdullah mengungkapkan bahwa untuk proses tracking, riwayat pendidikan, aktivitas, ataupun prestasi saat calon masih di SMA dan universitas, harus juga ditelusuri. Poin penting lainnya adalah apakah calon tergolong cacat moral dalam bermasyarakat, atau pernah melanggar kode etik di tempat calon tersebut bekerja.
"Syarat administrasi lain, calon tidak pernah menjadi lawyer atau saksi ahli yang membela koruptor," tutupnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Saja 5 Pelatih Tolak Melatih Timnas Indonesia?
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Pilihan Sunscreen Wardah dengan SPF 50, Efektif Hempas Flek Hitam hingga Jerawat
- 5 Body Lotion Mengandung SPF 50 untuk Mencerahkan, Cocok untuk Yang Sering Keluar Rumah
Pilihan
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
-
Menkeu Purbaya Segera Ubah Rp1.000 jadi Rp1, RUU Ditargetkan Selesai 2027
-
Menkeu Purbaya Kaji Popok Bayi, Tisu Basah, Hingga Alat Makan Sekali Pakai Terkena Cukai
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
Terkini
-
Kapolri Ungkap Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Jalani Operasi
-
Polda Metro Jaya Bakal Rilis Tentang Ledakan SMAN 72 Jakarta yang Lukai Puluhan Siswa
-
Sekjen PDIP Hasto Ingatkan Spirit Pengasingan Bung Karno di Konferda NTT
-
Masjid Dipasang Garis Polisi, Begini Kondisi SMAN 72 Jakarta Pasca Ledakan
-
Olah TKP Dinyatakan Rampung, Brimob Tinggalkan Lokasi, Polda Metro Jaya: Hasilnya Besok
-
Ledakan SMAN 72: Prabowo Beri Peringatan Keras! Ini Pesannya...
-
Ketua MPR: Tidak Ada Halangan bagi Soeharto untuk Dianugerahi Pemerintah Gelar Pahlawan Nasional
-
Misteri Ledakan SMA 72 Jakarta: Senjata Mainan Jadi Petunjuk Kunci, Apa yang Ditulis Pelaku?
-
Ledakan SMA 72 Jakarta: Pelaku Pelajar 17 Tahun, Kapolri Ungkap Fakta Mengejutkan
-
Update Ledakan SMAN 72: Polisi Sebut 54 Siswa Terdampak, Motif Masih Didalami