Suara.com - Negara harus mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kurun waktu 1965-1966 di Indonesia, yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan memenjarakan ratusan ribu lainnya tanpa proses peradilan, kata sejarawan Bonnie Triyana.
"Itu adalah tanggung jawab negara yang selama ini diabaikan," ujar Bonnie kepada Antara selepas acara diskusi di daerah Cikini, Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Menurut Bonnie, pengakuan tersebut juga bisa menghilangkan pola pikir yang salah, seolah-olah pembantaian ratusan ribu orang, terdiri dari kader Partai Komunis Indonesia dan yang dituduh anggota PKI, sebanding dengan pembunuhan atas tujuh orang jenderal yang terjadi sebelumnya atau pada peristiwa Gerakan 30 September.
Soeharto yang saat itu melesat menjadi pemimpin militer dan kemudian menjadi Presiden menunjuk PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas tewasnya tujuh pahlawan revolusi. Imbasnya, setelah itu Soeharto membubarkan dan melarang keberadaan PKI di Indonesia hingga saat ini.
Pola pikir yang menyimpulkan bahwa ratusan ribu anggota PKI berhak dibantai karena kematian tujuh jenderal adalah salah, lanjut Bonnie.
"Saya tidak bicara tentang ideologi, ini tentang kemanusiaan. Perbuatan yang menghilangkan satu nyawa pun, apalagi akibat perbedaan pandangan politik, adalah tidak benar," tuturnya.
Dia mencontohkan sebuah partai legal yang beberapa pemimpinnya membuat kesalahan, seperti korupsi. "Apakah dengan korupsi itu, partainya harus dibubarkan dan semua anggotanya sampai ke tingkat cabang atau ranting harus ditangkap dan dipenjarakan ?" kata Bonnie.
Oleh karena itu, pemerintah dianggap perlu membuka dan mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat ini, demi melepaskan beban yang menggelayuti negeri ini selama bertahun-tahun.
"Pembantaian manusia di Indonesia tahun 1965-1966 adalah pembunuhan terbesar sejak Perang Dunia II, jumlah korban terbesar setelah Auschwitz (kamp konsentrasi yang didirikan rezim Nazi saat PD II). Selama ini tidak bisa diselesaikan, Indonesia tidak akan bisa 'berlari cepat'," tutur Bonnie.
Ada pun mengenai konsep pengakuan tersebut, Bonnie menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. "Yang jelas peristiwa pelanggaran HAM berat 1965-1966 harus diakui dan itu membutuhkan kemauan politik ('political will') dari pemerintah," tuturnya.
Pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo, seperti yang termaktub dalam Nawa Cita, berkomitmen menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di eraOrde Baru, saat rezim Presiden Soeharto dan setelahnya.
"Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965", tulis Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, berisi penjabaran dari Nawa Cita, yang diberikan kepada KPU dalam masa kampanye.
Komnas HAM sendiri sejak tahun 2008 telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.
Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pada Pasal 9 UU tersebut dinyatakan ada 10 perbuatan yang dikategorikan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Nasib 8 ABK di Ujung Tanduk, Kapal Terbakar di Lampung, Tim SAR Sisir Lautan
-
30 Tahun Jadi TPS, Lahan Tiba-tiba Diklaim Pribadi, Warga Pondok Kelapa 'Ngamuk' Robohkan Pagar
-
Baju Basah Demi Sekolah, Curhat Pilu Siswa Nias Seberangi Sungai Deras di Depan Wapres Gibran
-
Mubes NU Tegaskan Konflik Internal Tanpa Campur Pemerintah, Isu Daftarkan SK ke Kemenkum Mencuat
-
Mendagri Bersama Menteri PKP Resmikan Pembangunan Hunian Tetap Korban Bencana di Tapanuli Tengah
-
Percepat Pemulihan Pascabencana, Mendagri Instruksikan Pendataan Hunian Rusak di Tapanuli Utara
-
Jabotabek Mulai Ditinggalkan, Setengah Juta Kendaraan 'Eksodus' H-5 Natal
-
Mubes Warga NU Keluarkan 9 Rekomendasi: Percepat Muktamar Hingga Kembalikan Tambang ke Negara
-
BNI Bersama BUMN Peduli Hadir Cepat Salurkan Bantuan Nyata bagi Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Relawan BNI Bergabung dalam Aksi BUMN Peduli, Dukung Pemulihan Warga Terdampak Bencana di Aceh