Suara.com - LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu cenderung menunjukkan sikap anti HAM.
"Kebijakan dan rencana-rencana pemerintah justru menujukkan sikap anti hak asasi manusia, seperti ketidakjelasan rencana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sampai saat ini tidak jelas Presiden Joko Widodo arahannya seperti apa?siapa yang harus mengawal?" kata Koordinator KontraS Haris Azhar di kantornya, Jakarta, Sabtu (26/12/2015).
Menurutnya penunjukkan Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung belum bisa mengambil insiatif dalam upaya penuntasan kasus HAM masa lalu.
Haris menilai penunjukan keduanya hingga kini tidak memiliki rencana apapun untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
"Menkopolhukam Luhut B Panjaitan tidak mengambil insiatif upaya penyelesaian, Sementara Jaksa Agung Muhammad Prasetyo terus bicara di media namun tidak menunjukkan adanya rancangan apapun," kata Haris.
Terlebih, dia juga mempertanyakan alasan Jokowi menunjuk Yasona Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM (MenkumHaM).
"Lain lagi dengan Menkumham Yasona Laoly yang tiba-tiba ditunjuk oleh Presiden paska pidato hari HAM di istana negara pada 11 Desember 2015," katanya,
Selain itu, KontraS juga menyoroti pernyataan-pernyataan liar yang kerap dilayangkan Komisaris Jenderal Budi Waseso saat menjadi Kabareskrim Polri ataupun saat menduduki jabatan barunya sebagai Kepala BNN. Menurutnya, sikap atau tindakan yang dilakukan Budi dalam penegakan hukum cenderung tidak masuk akal.
"Sosok Budi Waseso baik di Bareskrim maupun di BNN kerap menggelontorkan rencana-rencana penegakan hukum yang aneh," kata Haris.
Lebih jauh, KontraS juga menilai Surat Edaran Hate Speech atau Ujaran Kebencian yang diterbitkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dianggap lebih cenderung mengekang warga negara untuk bisa mengekspresikan kebebasan berbicara.
"Demikian pula dengan SE Hate Speech, meskipun awalnya untuk menangangi peristiwa-peristiwa intoleransi namun panduan hukum internal kepolisian tersebut berpotensi diberlakukan untuk mengekang kebebasan berbicara. Jauh api dari panggangnya," ungkapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Harga Diri Bangsa vs Air Mata Korban Bencana Sumatera, Sosok Ini Sebut Donasi Asing Tak Penting
-
Tembus Proyek Strategis Nasional hingga Energi Hijau, Alumni UPN Angkatan 2002 Ini Banjir Apresiasi
-
Implementasi Pendidikan Gratis Pemprov Papua Tengah, SMKN 3 Mimika Kembalikan Seluruh Biaya
-
Boni Hargens: Reformasi Polri Harus Fokus pada Transformasi Budaya Institusional
-
Alarm Keras DPR ke Pemerintah: Jangan Denial Soal Bibit Siklon 93S, Tragedi Sumatra Cukup
-
Pemprov Sumut Sediakan Internet Gratis di Sekolah
-
Bantuan Tahap III Kementan Peduli Siap Diberangkatkan untuk Korban Bencana Sumatra
-
Kasus Bupati Lampung Tengah, KPK: Bukti Lemahnya Rekrutmen Parpol
-
Era Baru Pengiriman MBG: Mobil Wajib di Luar Pagar, Sopir Tak Boleh Sembarangan
-
BGN Atur Ulang Jam Kerja Pengawasan MBG, Mobil Logistik Dilarang Masuk Halaman Sekolah