140 Tokoh Dan 28 NGO Buat Petisi Penolakan Pelibatan TNI Dalam RUU Terorisme [suara.com/Dian Rosmala]
Keinginan Presiden Joko Widodo melibatkan militer dalam memberantas terorisme dan dimasukkan dalam revisi UU Anti Terorisme dinilai sebagai bentuk kepanikan Kepala Negara.
"Mestinya Presiden lebih tenang dalam hal ini. Tidak boleh panik. Kita kan belum pada situasi darurat. Presiden harus lebih menguasai keadaan. Dan secara konseptual harus lebih matang," kata ilmuwan politik Mochtar Pabotinggi di kantor Amnesty Internasional, Gedung HDI HIVE, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2017).
Saat ini, pemerintah bersama DPR melakukan pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu persoalan krusial yang dibahas yaitu melibatkan militer secara langsung dalam mengatasi terorisme.
Mochtar mengingatkan pelibatan TNI dalam penindakan terorisme sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sehingga tidak perlu lagi masuk UU Anti Terorisme.
Pasal 7 ayat 2 dan 3, antara lain berisi tugas pokok militer selain perang adalah mengatasi aksi terorisme yang dilaksanakan atas dasar kebijakan dan keputusan negara.
"Ini dibikin seakan-akan tidak perlu lagi ada keputusan politik untuk langsung terlibat. Seakan-akan militer itu independen bisa melakukan apa saja," tutur Mochtar.
Saat ini, kata Mochtar, Indonesia belum masuk pada situasi darurat sehingga tidak perlu pelibatan TNI.
"Nanti kalau sudah masuk pada keadaan darurat, apa yang mau dipakai lagi? Sudah habis. Jadi senjata pamungkas disimpan lah. Eman-eman," ujar Mochtar.
Kesalahan terbesar Orde Baru, menurut Mochtar, menerapkan format politik darurat pada situasi yang tidak darurat.
"Itu paling celaka. Paling bahaya. Itu kesalahan paling besar. Jadi jangan terulang lagi," kata Mochtar.
Resiko
Mochtar memprediksi resiko yang paling buruk bagi bangsa ini jika militer dilibatkan dalam menindak terorisme yaitu kembalinya Dwi Fungsi ABRI, seperti zaman Orde Baru.
"Kalau Dwi Fungsi Abri kembali lagi, itu Orde Baru berlaku lagi," kata Mochtar.
Apabila fungsi militer balik lagi ke Orde Baru, gerakan mereka tidak akan bisa dibendung.
"Begitu militer masuk tanpa kontrol sipil, itu akan menjadi Orba lagi. Kalau Orba masuk, itu berarti kita masuk pada awal yang bisa akan berakhir hancur-hancuran," tutur Mochtar.
Jika militer dilibatkan dalam penanganan teroris secara langsung, akan ada lubang-lubang bahaya yang dibuka.
"Itu akan merembet pada ranah lain. Begitu kita berikan kartu bebas untuk melakukan tindakan, itu berarti kontrol negara tidak ada. Itu akan masuk pada ranah lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata Mochtar.
"Mestinya Presiden lebih tenang dalam hal ini. Tidak boleh panik. Kita kan belum pada situasi darurat. Presiden harus lebih menguasai keadaan. Dan secara konseptual harus lebih matang," kata ilmuwan politik Mochtar Pabotinggi di kantor Amnesty Internasional, Gedung HDI HIVE, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2017).
Saat ini, pemerintah bersama DPR melakukan pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu persoalan krusial yang dibahas yaitu melibatkan militer secara langsung dalam mengatasi terorisme.
Mochtar mengingatkan pelibatan TNI dalam penindakan terorisme sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sehingga tidak perlu lagi masuk UU Anti Terorisme.
Pasal 7 ayat 2 dan 3, antara lain berisi tugas pokok militer selain perang adalah mengatasi aksi terorisme yang dilaksanakan atas dasar kebijakan dan keputusan negara.
"Ini dibikin seakan-akan tidak perlu lagi ada keputusan politik untuk langsung terlibat. Seakan-akan militer itu independen bisa melakukan apa saja," tutur Mochtar.
Saat ini, kata Mochtar, Indonesia belum masuk pada situasi darurat sehingga tidak perlu pelibatan TNI.
"Nanti kalau sudah masuk pada keadaan darurat, apa yang mau dipakai lagi? Sudah habis. Jadi senjata pamungkas disimpan lah. Eman-eman," ujar Mochtar.
Kesalahan terbesar Orde Baru, menurut Mochtar, menerapkan format politik darurat pada situasi yang tidak darurat.
"Itu paling celaka. Paling bahaya. Itu kesalahan paling besar. Jadi jangan terulang lagi," kata Mochtar.
Resiko
Mochtar memprediksi resiko yang paling buruk bagi bangsa ini jika militer dilibatkan dalam menindak terorisme yaitu kembalinya Dwi Fungsi ABRI, seperti zaman Orde Baru.
"Kalau Dwi Fungsi Abri kembali lagi, itu Orde Baru berlaku lagi," kata Mochtar.
Apabila fungsi militer balik lagi ke Orde Baru, gerakan mereka tidak akan bisa dibendung.
"Begitu militer masuk tanpa kontrol sipil, itu akan menjadi Orba lagi. Kalau Orba masuk, itu berarti kita masuk pada awal yang bisa akan berakhir hancur-hancuran," tutur Mochtar.
Jika militer dilibatkan dalam penanganan teroris secara langsung, akan ada lubang-lubang bahaya yang dibuka.
"Itu akan merembet pada ranah lain. Begitu kita berikan kartu bebas untuk melakukan tindakan, itu berarti kontrol negara tidak ada. Itu akan masuk pada ranah lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata Mochtar.
Tag
Komentar
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman New Balance untuk Jalan Kaki Jauh
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
Tak Mau Renovasi! Ahmad Sahroni Pilih Robohkan Rumah Usai Dijarah Massa, Kenapa?
-
Borobudur Marathon 2025 Diikuti Peserta dari 38 Negara, Perputaran Ekonomi Diprediksi Di Atas Rp73 M
-
Langsung Ditangkap Polisi! Ini Tampang Pelaku yang Diduga Siksa dan Jadikan Pacar Komplotan Kriminal
-
Transfer Pusat Dipangkas, Pemkab Jember Andalkan PAD Untuk Kemandirian Fiskal
-
Pelaku Bom SMAN 72 Jakarta Dipindah Kamar, Polisi Segera Periksa Begitu Kondisi Pulih
-
Robohkan Rumah yang Dijarah hingga Rata Dengan Tanah, Ahmad Sahroni Sempat Ungkap Alasannya
-
Jelang Musda, Rizki Faisal Didukung Kader Hingga Ormas Pimpin Golkar Kepri
-
Hakim PN Palembang Raden Zaenal Arief Meninggal di Indekos, Kenapa?
-
Guru Besar UEU Kupas Tuntas Putusan MK 114/2025: Tidak Ada Larangan Polisi Menjabat di Luar Polri
-
MUI Tegaskan Domino Halal Selama Tanpa Unsur Perjudian