Sidang Paripurna DPR [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Pakar hukum Petrus Selestinus meminta DPR jangan menjadikan panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai panggung pengadilan tandingan.
Petrus menangkap indikasi tersebut setelah mengetahui adanya usaha untuk menghadirkan anggota Fraksi Hanura Miryam S. Haryani dalam agenda pemeriksaan pansus angket. Miryam merupakan salah satu saksi penting kasus dugaan korupsi e-KTP yang pernah menyebut nama-nama politikus berpengaruh ketika diperiksa penyidik KPK Novel Baswedan (belakangan dia menarik kesaksian sendiri).
"Apa yang dilakukan oleh pansus hak angket DPR terhadap KPK apalagi akan memanggil paksa Miryam, tersangka yang saat ini berada dalam tahanan KPK sudah menunjukkan bahwa DPR sedang menjadikan pansus hak angket sebagai lembaga peradilan tandingan dengan tujuan untuk menutup-nutupi 'aib besar' dugaan korupsi yang dilakukan oleh puluhan oknum anggota DPR RI dalam pembahasan anggaran pada setiap proyek besar," kata Petrus, Jumat (16/6/2017).
Menurut Petrus alasan penggunaan hak angket terhadap KPK hanya karena pimpinan lembaga antirasuah menolak memberikan rekaman hasil pemeriksaan Miryam kepada anggota DPR. Menurut Petrus, itu tidak mendasar.
"Ini jelas merupakan penyalahgunaan fungsi dan hakekat lembaga hak angket DPR itu sendiri, karena kewenangan mengusut saksi yang berdusta adalah hanya kewenangan polisi tentu saja atas dasar laporan polisi dari korban yang merasa dirugikan," kata Petrus.
Petrus kemudian meminta DPR membuka diri dan membudayakan kontrol publik atas perilaku anggota, terutama jika ada anggota dewan diduga terlibat korupsi.
"Karenanya jika pansus angket dengan kemasan untuk menyelidiki sejumlah isu umum, termasuk isu tentang adanya intimidasi beberapa rekan Miryam untuk bersaksi dusta, hal itu dapat dipastikan kekuatan kelompok anti pemberantasan korupsi sudah menguasai DPR sebagai lembaga politik," katanya.
Jika DPR menganggap penjelasan pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR yang menyebutkan bahwa intimidasi terhadap Miryam oleh penyidik tidak benar, seharusnya anggota dewan yang merasa dirugikan lapor ke polisi.
"Untuk dilakukan proses hukum karena bersaksi dusta. Itu sebagaimana sudah banyak anggota DPR juga melaporkan kepada Bareskrim Polri setiap dugaan tindak pidana yang merugikan DPR atau anggota DPR," katanya.
Sejak awal, Petrus menilai pembentukan hak angket salah.
"Oleh karena itu sebetulnya anggota DPR yang merasa dirinya dirugikan akibat penyebutan namanya oleh Miryam atau cara-cara yang dilakukan oleh penyidik KPK dinilai tidak benar, maka biarlah proses hukum di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang kelak akan membuktikan, bukanlah dengan membentuk pansus hak angket DPR terhadap KPK dengan biaya Rp3 miliar lebih itu," kata Petrus.
Petrus menangkap indikasi tersebut setelah mengetahui adanya usaha untuk menghadirkan anggota Fraksi Hanura Miryam S. Haryani dalam agenda pemeriksaan pansus angket. Miryam merupakan salah satu saksi penting kasus dugaan korupsi e-KTP yang pernah menyebut nama-nama politikus berpengaruh ketika diperiksa penyidik KPK Novel Baswedan (belakangan dia menarik kesaksian sendiri).
"Apa yang dilakukan oleh pansus hak angket DPR terhadap KPK apalagi akan memanggil paksa Miryam, tersangka yang saat ini berada dalam tahanan KPK sudah menunjukkan bahwa DPR sedang menjadikan pansus hak angket sebagai lembaga peradilan tandingan dengan tujuan untuk menutup-nutupi 'aib besar' dugaan korupsi yang dilakukan oleh puluhan oknum anggota DPR RI dalam pembahasan anggaran pada setiap proyek besar," kata Petrus, Jumat (16/6/2017).
Menurut Petrus alasan penggunaan hak angket terhadap KPK hanya karena pimpinan lembaga antirasuah menolak memberikan rekaman hasil pemeriksaan Miryam kepada anggota DPR. Menurut Petrus, itu tidak mendasar.
"Ini jelas merupakan penyalahgunaan fungsi dan hakekat lembaga hak angket DPR itu sendiri, karena kewenangan mengusut saksi yang berdusta adalah hanya kewenangan polisi tentu saja atas dasar laporan polisi dari korban yang merasa dirugikan," kata Petrus.
Petrus kemudian meminta DPR membuka diri dan membudayakan kontrol publik atas perilaku anggota, terutama jika ada anggota dewan diduga terlibat korupsi.
"Karenanya jika pansus angket dengan kemasan untuk menyelidiki sejumlah isu umum, termasuk isu tentang adanya intimidasi beberapa rekan Miryam untuk bersaksi dusta, hal itu dapat dipastikan kekuatan kelompok anti pemberantasan korupsi sudah menguasai DPR sebagai lembaga politik," katanya.
Jika DPR menganggap penjelasan pimpinan KPK dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR yang menyebutkan bahwa intimidasi terhadap Miryam oleh penyidik tidak benar, seharusnya anggota dewan yang merasa dirugikan lapor ke polisi.
"Untuk dilakukan proses hukum karena bersaksi dusta. Itu sebagaimana sudah banyak anggota DPR juga melaporkan kepada Bareskrim Polri setiap dugaan tindak pidana yang merugikan DPR atau anggota DPR," katanya.
Sejak awal, Petrus menilai pembentukan hak angket salah.
"Oleh karena itu sebetulnya anggota DPR yang merasa dirinya dirugikan akibat penyebutan namanya oleh Miryam atau cara-cara yang dilakukan oleh penyidik KPK dinilai tidak benar, maka biarlah proses hukum di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang kelak akan membuktikan, bukanlah dengan membentuk pansus hak angket DPR terhadap KPK dengan biaya Rp3 miliar lebih itu," kata Petrus.
Komentar
Berita Terkait
-
Tetap Berstatus Kader, Golkar Senang Setnov Bebas: Secara Prosedur Semuanya Memenuhi Syarat
-
Blak-blakan! Ketua KPK Sebut Pembebasan Bersyarat Setya Novanto Kurang Adil, Kenapa?
-
Setya Novanto Hirup Udara Bebas: Preseden Buruk Bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
-
Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK Ingatkan Dosa Korupsi E-KTP: Itu Kejahatan Serius!
-
KPK Tegaskan Penangguhan Penahanan Paulus Tannos Belum Dikabulkan Pengadilan Singapura
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Tak Mau PPP Terbelah, Agus Suparmanto Sebut Klaim Mardiono Cuma Dinamika Biasa
-
Zulhas Umumkan 6 Jurus Atasi Keracunan Massal MBG, Dapur Tak Bersertifikat Wajib Tutup!
-
Boni Hargens: Tim Transformasi Polri Bukan Tandingan, Tapi Bukti Inklusivitas Reformasi
-
Lama Bungkam, Istri Arya Daru Pangayunan Akhirnya Buka Suara: Jangan Framing Negatif
-
Karlip Wartawan CNN Dicabut Istana, Forum Pemred-PWI: Ancaman Penjara Bagi Pembungkam Jurnalis!
-
AJI Jakarta, LBH Pers hingga Dewan Pers Kecam Pencabutan Kartu Liputan Jurnalis CNN oleh Istana
-
Istana Cabut kartu Liputan Wartawan Usai Tanya MBG ke Prabowo, Dewan Pers: Hormati UU Pers!
-
PIP September 2025 Kapan Cair? Cek Nominal dan Ketentuan Terkini
-
PLN Perkuat Keandalan Listrik untuk PHR di WK Rokan Demi Ketahanan Energi Nasional
-
PN Jaksel Tolak Praperadilan, Eksekusi Terpidana Kasus Pencemaran Nama Baik JK Tetap Berlanjut