Suara.com - Sebut saja polisi perempuan asal Brasil ini bernama Tábata. Ia mengalami pelecehan seksual oleh seseorang yang dikenal baik keluarganya saat berusia sembilan sampai 11 tahun.
Saat mengadu kepada ayahnya, tiada pembelaan berarti ia terima. Sementara bercerita kepada sang ibu yang menderita bipolar juga tidak mungkin, karena khawatir atas kondisi kesehatannya.
****
Sebagai kanak-kanak, Tábata adalah sosok terbuka dan gemar bercerita. Namun kondisi pelecehan seksual yang dialaminya membuat ia terkungkung rasa takut sampai beranjak dewasa.
“Ada perasaan mendua: setiap kali ingin berhubungan dengan seseorang, selalu teringat akan serangan yang dilakukan orang itu. Saya malu akan tubuh sendiri. Dan ketika para perempuan lain berbagi cerita soal seks dan anak-anak, dunia ini serasa runtuh.”
Awal kejadian adalah pada 2002 saat Tábata berusia sembilan tahun, bertemu dengan sang pelaku. Teman kedua orangtuanya, seorang fotografer berusia 39 tahun, telah menikah, pencinta alam dan sangat ramah. Mudah bergaul dan cepat akrab dengan lingkungan baru. Terutama bila sudah bercakap-cakap soal travelling.
Dua keluarga ini kerap berkemah bersama-sama di musim panas, antara lain di dekat perbatasan negara bagian Santa Catarina dan Rio Grande do Sul.
Serangan pertama terjadi saat lelaki teman keluarga ini menyentuhnya ketika mereka berenang, lantas mengarang alasan agar bisa mengajaknya bepergian mengambil air untuk kebutuhan kemah dan meraba-raba. Tábata berhasil melarikan diri.
Frekuensi pelecehan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Ia ingin bicara kepada ayahnya, tetapi dasar kanak-kanak, pikirannya dipenuhi perkiraan; jangan-jangan fotografer itu bakal dibunuh sang bapak.
Tetapi fotografer itu juga pantang menyerah untuk tidak melakukan kejahatan. Ia mempelajari kapan gadis itu ada di rumah sendiri, saat tidak ada seorang pun di sana maka memperkosanya, juga mengancam dan menampar.
Baca Juga: Dikira Non Muslim, Baim Wong Nyaris Jauhi Paula Verhoeven
Ia mencoba bertahan, namun kondisi dalam keluarganya sendiri semakin runyam, karena ayah Tábata berkencan dengan istri si fotografer. Orangtuanya bercerai dan untuk pertama kali Tábata menceritakan deritanya kepada seorang sahabat.
Saat ia berusia 16 tahun, pada 2008, sang teman memberitahu ibunda Tábata, bahwa putrinya itu mengalami pelecehan, ia mengenal si fotografer, dan korbannya juga banyak. Serangan seksual yang dialaminya juga dilaporkan kepada kepolisian, namun ia tak kunjung dipanggil menjadi saksi dan kasusnya ditangguhkan.
Saat menghubungi kejaksaan, mereka menyatakan Tábata tak memiliki saksi pun bukti.
Di saat hampir bersamaan, seseorang menyerang si fotografer karena telah berbuat tak senonoh kepada putrinya. Hal itu membuat Tábata tergerak dan mendatangi ibu korban, untuk memintanya bersaksi di kantor jaksa penuntut umum.
Hal ini membawa si fotografer akhirnya disidangkan perdana pada 2013 atas kasus phaedophilia.
Di pengadilan, tentu saja fotografer itu mengelak telah melakukan pelecehan atas Tábata bahkan menuduhnya balik bahwa ia berbuat hal ini untuk membela ayahnya yang mengajak istrinya bermain serong.
Lelaki itu menjalani hukuman, tetapi bukan berdasar bukti kejadian Tábata.
Sementara waktu terus berjalan, ia meneruskan pendidikan di kepolisian. Di usia 24 tahun, Tábata menyelesaikan studinya di Akademi Polisi Sipil Santa Catarina.
"Saya fokus untuk melakukan pekerjaan saya, tidak bergantung pada yang telah terjadi di masa lalu. Saya berusaha mengeluarkan segalanya dari ingatan,” demikian ceritanya saat pertama kali memutuskan untuk berbagi kisah hidupnya dengan seorang jurnalis.
Toh ia mengakui, pilihan masuk akademi kepolisian adalah sebuah putusan besar. Bahwa ia ingin menangkap “semua pemerkosa”. Tidak sebatas mencegah, tetapi membuka kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan seksual dalam kehidupan sehari-hari.
“Peran saya di kepolisian adalah untuk mempraktekkan profesi saya menurut hukum,” ujarnya.
Dan akhirnya, di laman berikut adalah kisahnya menangkap sang predator dengan kedua tangannya sendiri.
Pada 19 Desember 2014, predator Tábata diperkenankan keluar dari penjara karena bertingkah laku baik dan rajin bekerja selama dibui.
Namun perempuan yang kini telah dewasa itu tak putus semangat. Ia meminta hakim kembali meninjau kasusnya. Memberikan pernyataan bahwa sebagai pelaku pelecehan hukuman yang didapat si predator terlampau ringan.
Dan tepat 12 tahun setelah kejadian pelecehan pertama kali yang dialaminya, Tábata menangkap lelaki itu dengan kedua tangannya sendiri, berbekal surat pengadilan.
Satu tangan menggenggam kuat lengan pemerkosa itu, sementara tangan lainnya mengokang pistol. Ia sendiri yang memborgolnya, mengantar ke sel, serta mengunci pintunya.
Itulah hari kemenangan Tábata serta para perempuan korban pemerkosaan lainnya. Ia lega, 21 Desember 2017, di usia 26 tahun, Tábata telah memutus siklus yang menghantuinya selama ini.
“Memegang sendiri si pelaku dan membawanya ke penjara adalah bagian dari proses penyembuhan,” tandasnya.
“Para ibu harus berbicara banyak dengan anak-anak mereka dan mendesak mereka untuk menceritakan tentang perilaku orang dewasa yang tidak senonoh, atau tidak pantas, dan harus percaya cerita versi anak-anak. Korban tidak bersalah. Kejadian bukan terjadi karena postur anak atau busana yang menantang. Namun si penyerang yang memang “sakit”.”
BBC
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Kecewa Kena PHP Ivan Gunawan, Ibu Peminjam Duit: Kirain Orang Baik, Ternyata Munafik
- Nasib Maxride di Yogyakarta di Ujung Tanduk: Izin Tak Jelas, Terancam Dilarang
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
- Gibran Dicap Langgar Privasi Saat Geledah Tas Murid Perempuan, Ternyata Ini Faktanya
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Ribuan Anak Keracunan MBG, IDAI Desak Evaluasi Total dan Beri 5 Rekomendasi Kunci
-
Cak Imin: Program Makan Bergizi Gratis Tetap Lanjut, Kasus Keracunan Hanya 'Rintangan' Awal
-
Tak Cuma di Indonesia, Ijazah Gibran Jadi 'Gunjingan' Diaspora di Sydney: Banyak yang Membicarakan
-
Misteri 'Kremlin' Jakarta Pusat: Kisah Rumah Penyiksaan Sadis Era Orba yang Ditakuti Aktivis
-
Adu Pendidikan Rocky Gerung vs Purbaya yang Debat Soal Kebijakan Rp200 Triliun
-
PPP di Ambang Perpecahan? Rommy Tuding Klaim Mardiono Jadi Ketum Aklamasi Hoaks: Itu Upaya Adu Domba
-
Nyaris 7.000 Siswa Keracunan, Cak Imin Janji Evaluasi Total Program Makan Bergizi Gratis
-
Adu Kekayaan Mardiono Vs Agus Suparmanto, Saling Klaim Terpilih Aklamasi Jadi Ketum PPP
-
Kasad Maruli Pimpin Kenaikan Pangkat 65 Jenderal TNI AD, 3 di Antaranya Sandang Pangkat Letjen
-
Parade Bintang di Lautan: 67 Jenderal TNI AL Naik Pangkat, KSAL Pimpin Langsung Upacara Sakral