Suara.com - Selama penjajahan Jerman di pulau mereka, sekelompok polisi Guernsey dikirim ke kamp kerja paksa oleh Nazi setelah diputus bersalah oleh pengadilan Inggris.
Apa kesalahan para polisi ini? Mencuri makanan pasukan Nazi untuk dibagikan ke warga Guernsey yang kelaparan.
Hanya sebagian polisi dari Pulau Guernsey, di Kepulauan Channel, kawasan Selat Inggris itu, yang akhirnya selamat dan bebas.
Mereka bisa pulang ke kampung halaman pada akhir Perang Dunia II, tapi menderita penyakit atau mengalami luka-luka yang mengubah sisa kehidupan mereka.
Begitu kembali dari kamp Nazi, mereka juga diperlakukan sebagai penjahat dan tidak mendapatkan uang pensiun.
Puluhan tahun setelah apa yang diyakini keluarga mereka sebagai "ketidakadilan mengerikan", anak-cucu para polisi ini berupaya membersihkan nama ayah dan kakek mereka.
- Peringati 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II, Jepang janji tidak ulangi 'tragedi perang'
- Komunikasi rahasia militer Jerman diungkap untuk menandai peringatan 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II
- Perang Dunia I dalam potret inframerah
Akademisi dari Universitas Cambridge, Inggris, Gilly Carr, menghabiskan bertahun-tahun meneliti era pendudukan Nazi di Kepulauan Channel.
Carr berkata, penghinaan pemerintahan Nazi terhadap martabat para polisi Guernsey, dalam beberapa hal, bahkan lebih buruk ketimbang yang dialami warga sipil.
"Polisi Guernsey diharuskan memberi hormat kepada aparatur Jerman yang lewat. Menurut mereka kewajiban itu sulit dilakukan karena bertentangan dengan apa yang mereka anggap benar," katanya.
Baca Juga: Menteri Pakistan Samakan Emmanuel Macron dengan Nazi, Prancis Murka
Dua polisi pertama yang melakukan aksi perlawanan terhadap pasukan Nazi adalah Kingston Bailey dan Frank Tuck. Mereka memasukkan pasir ke tangki bensin kendaraan Nazi.
Bailey dan Tuck juga menuliskan "V for victory" di berbagai lokasi di Pulau Guernsey.
Dua polisi itu terinspirasi siaran BBC yang secara diam-diam mereka dengarkan. Pada era perang itu, kalimat tersebut dianggap salah satu cara melemahkan penjajah.
"Bagi para pemuda yang tidak mendapat kesempatan untuk bertempur di kemiliteran, siaran radio semacam itu sangat menarik," kata Carr.
"Dan status dua pemuda itu sebagai polisi memberi mereka peluang untuk melakukan hal-hal yang dilarang," tuturnya.
Pada musim dingin tahun 1941 hingga 1942, penduduk sipil di Kepulauan Channel kekurangan makanan. Sebaliknya, pasukan Jerman memiliki banyak persediaan pangan.
Bailey dan Tuck suatu malam masuk ke tempat penyimpanan makanan Jerman. Mereka mengambil makanan kaleng untuk dibagikan ke warga pulau yang kelaparan.
Bailey berkata, dalam memoarnya, bahwa pada Februari 1942 operasi rahasia itu "lepas kendali…seluruh anggota kepolisian ikut ambil bagian".
Pada akhirnya Bailey dan Tuck tertangkap basah oleh tentara Jerman yang menunggu mereka. Sebanyak 17 polisi diseret ke pengadilan Kerajaan Guernsey. Beberapa dari mereka didakwa mencuri botol anggur dan minuman keras dari toko-toko milik penduduk pulau.
Pasukan Jerman diduga menyiksa beberapa polisi selama proses interogasi.
Seorang polisi bernama Archibald Tardif bercerita tentang saat-saat setelah mereka ditangkap. Dia berkata, pasukan Jerman memperlihatkan pernyataan yang diteken sejumlah koleganya.
Jika tidak menandatangani pernyataan itu, kata Tardiff, dia akan ditembak.
"Akhirnya saya menandatanganinya. Semua pernyataan itu diketik dalam bahasa Jerman," ucapnya.
Belasan polisi itu diadili oleh pengadilan militer Jerman dan pengadilan Kerajaan Guernsey, yang secara admistratif, berada di bawah badan yudikatif Inggris.
Mereka dijatuhi hukuman kerja paksa selama empat setengah tahun.
Sejarawan Paul Sanders menyebut proses peradilan yang seimbang kala itu tidak terwujud bagi para polisi tersebut. Selama ini Sanders berupaya membersihkan nama baik polisi-polisi itu yang seluruhnya kini telah wafat.
"Pengadilan sipil Inggris pada tahun 1942 bertindak seperti 'pengadilan kanguru' dalam era kediktatoran terburuk," ujar Sanders.
Pengadilan kanguru adalah istilah yang merujuk pada persidangan dengan alat bukti minim dan dakwaan lemah.
Sanders berkata, para polisi itu diberitahu otoritas Guernsey untuk mengaku bersalah. Tujuannya agar Jerman membiarkan mereka diadili di pengadilan lokal.
Jika diadili di Guernsey, menurut keterangan yang mereka terima, hukuman dari pengadilan tidak akan dihitung setelah perang.
Sebanyak 16 polisi kemudian dikirim ke penjara dan kamp kerja paksa di sejumlah negara Eropa. Banyak dari mereka mengalami kondisi yang mengerikan.
Tuck menulis tentang kekejaman yang dia alami dari para penjaga: "Saya ditendang dan dipukuli hingga jatuh menggunakan pentungan, dan dhantam dengan popor senapan."
Herbert Smith adalah satu-satunya polisi yang tewas di luar Inggris.
Tuck bercerita bahwa Smith tidak diberi makanan dan pakaian ketika cuaca sangat dingin. Perutnya dipukuli dengan sekop dan pentung, lalu dibiarkan mati di penjara polisi rahasia Nazi, Gestapo.
Sementara ketika polisi bernama Charles Friend dibebaskan oleh pasukan Amerika Serikat, berat badannya hanya 45 kilogram. Dia juga tidak dapat menggunakan kakinya.
Friend menderita selama sisa hidupnya sebagai akibat dari "hari-hari yang mengerikan itu". Dia meninggal tahun 1986 karena serangan jantung.
Saat menghembuskan nafas terakhirnya, Friend tengah dalam perjalanan menuju pameran yang menampilkan kisahnya dan para polisi Guernsey tersebut.
Putranya, Keith, berkata, "Dia terluka oleh pengalamannya, baik secara mental maupun fisik, dan tidak pernah pulih dari itu."
Karena hukuman pidana, para polisi ini tidak dapat kembali ke pekerjaan mereka. Selain itu, mereka juga tak berhak mendapatkan uang pensiun.
Keith berkata, ayahnya membenci otoritas Guernsey. Ayahnya pernah berkata, dia dan kawan-kawannya akan kembali dari penjara untuk "menyelesaikan semua urusan".
"Dia marah dan merasa telah ditipu oleh otoritas lokal yang tidak memenuhi janji," kata Keith.
"Saya menilai apa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang mirip dengan aksi Robin Hood. Ini bukan kejahatan untuk keuntungan pribadi. Aksi itu untuk memberi makan orang-orang yang kelaparan, dan sebagai polisi mereka berada dalam posisi untuk memberikan solusi."
Setelah perang, sebagian besar polisi itu mengajukan kompensasi ke pemerintah Jerman Barat atas penderitaan yang mereka alami.
Pada tahun 1955, delapan di antara polisi-polisi itu mengajukan banding atas hukuman pidana yang dijatuhkan kepada mereka. Namun upaya itu gagal. Artinya mereka semua berstatus sebagai mantan narapidana ketika mereka meninggal.
Kasus ini disidangkan oleh pengadilan banding tertinggi untuk wilayah Inggris, termasuk sejumlah negara yang berasosiasi dengan kerajaan itu, seperti Guernsey.
"Pada tahun 1950-an, ada ilusi yang menyatakan bahwa pemerintahan dan pengadilan Inggris di Guernsey terus berlanjut tanpa terpengaruh pendudukan Nazi. Narasi ini terus berlanjut hingga sekarang," kata Sanders.
Pada tahun 2018, sebuah pendekatan dilakukan kepada Komite Yudisial Dewan Penasihat (JCPC) agar pengadilan banding tertinggi Inggris itu berkenan memeriksa kembali permohonan tiga polisi Guernsey yang diajukan pada tahun 1955.
Pengacara Patrick O'Connor QC, yang menangani kasus itu secara pro bono, berkata, "Ini adalah ketidakadilan yang sudah berlangsung lama dan menjadi tanggung jawab pengadilan, dan oleh karena itu pengadilan harus memberikan pengampunan."
Namun, upaya banding tiga polisi itu ditolak pada Maret lalu.
Dalam keputusannya, JCPC menyatakan, "Ada sejumlah hambatan dalam banding ini, salah satunya fakta bahwa pengaduan atas penganiayaan selama interogasi bisa diajukan kepada kami sebelum tahun 1955, tapi itu tidak pernah terjadi."
Terhadap pernyataan itu, O'Connor berkata, "Tidak ada prosedur lain untuk membatalkan hukuman ini."
"Sayangnya, putusan itu akan menjadi noda dalam sistem peradilan Guernsey untuk selamanya," kata O'Connor.
Dan bagi Keith Friend, putusan pengadilan itu adalah pukulan yang sulit diterima. "Saya sangat kecewa," katanya.
"Ini sangat tidak adil dan masih ada noda dalam keluarga saya yang seharusnya tidak ada. Walau mereka semua sudah wafat sekarang, noda itu masih akan tetap ada."
Tag
Terpopuler
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- 7 HP Samsung Seri A Turun Harga hingga Rp 1 Jutaan, Mana yang Paling Worth It?
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Buka-bukaan Kerry Riza di Sidang: Terminal OTM Hentikan Ketergantungan Pasokan BBM dari Singapura
-
MBG Dinilai Efektif sebagai Instrumen Pengendali Harga
-
Ultimatum Keras Prabowo: Pejabat Tak Setia ke Rakyat Silakan Berhenti, Kita Copot!
-
Legislator DPR: YouTuber Ferry Irwandi Layak Diapresiasi Negara Lewat BPIP
-
Racun Sianida Akhiri Pertemanan, Mahasiswa di Jambi Divonis 17 Tahun Penjara
-
Ramai Narasi Perpol Lawan Putusan MK, Dinilai Tendensius dan Tak Berdasar
-
Jurus Prabowo Setop Wisata Bencana: Siapa Pejabat yang Disentil dan Mengapa Ini Terjadi?
-
Gus Yahya Ajak Warga Nahdliyin Bersatu Hadapi Tantangan, Terutama Bencana Sumatra
-
Ramai Patungan Beli Hutan, Memang Boleh Rimba Dibeli Dan Bagaimana Caranya?
-
Peradilan Militer Dinilai Tidak Adil, Keluarga Korban Kekerasan Anggota TNI Gugat UU ke MK