Suara.com - Aktivis Selandia Baru yang terdiri dari akademisi, jurnalis dan mahasiswa mengibarkan bendera Papua Barat atau Bintang Kejora, Selasa (01/12) pada simposium yang diselenggarakan oleh Pacific Media Center di Auckland.
Aksi solidartas ini dilakukan untuk menandai 59 tahun sejak bendera pertama dikibarkan sebagai simbol kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Penyelenggara mengatakan pengibaran bendera ini sebagai aksi solidaritas bagi mahasiswa Papua yang belajar di Selandia Baru juga sebagai aksi pretes terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia.
Del Abcede, pembela HAM yang bicara mewakili mahasiswa meminta dukungan dari Selandia Baru dan negara-negara Pasifik untuk perjuangan penentuan nasib Papua Barat.
"Saya akan mengatakan hal-hal yang tidak dapat mereka katakan karena hal itu membuat mereka berisiko," ujarnya.
"Saya akan mengatakan dua hal yang tidak bisa katakan siswa secara langsung, salah satunya tentang mengibarkan bendera atau berbicara tentang penjara. Yang lainnya tentang petisi kemerdekaan," lanjutnya.
Sekitar 50 akademisi dan media mengibarkan bendera dan menyanyikan dua lagu tradisional dalam aksi tersebut.
Simposium ini menyampaikan presentasi tentang berbagai topik mulai dari metodologi penelitian jurnalisme masa depan hingga kolaborasi dokumenter dan jurnalisme, jurnalisme proyek di Kawasan Asia-Pasifik, serta keragaman dan publikasi media.
Pembicara di acara ini memuji situs berita Stuff yang menerbitkan permintaan maaf atas pelaporan bias yang diterbitkan selama 163 tahun tentang masalah Maori.
Baca Juga: Lebih Fleksibel, Unilever Selandia Baru Cuma Kerja 4 Hari dalam Seminggu
Direktur pusat Profesor David Robie menggambarkan langkah ini sebagai aksi berani dan "mengubah permainan" media pada hubungan ras.
Di Wellington, puluhan orang demonstrasi mendukung kemerdekaan Papua Barat di luar parlemen Selandia Baru, lapor Johnny Blades dari RNZ Pacific.
Wakil ketua Partai Hijau Selandia Baru Marama Davidson dan beberapa anggota parlemen lainnya menghadiri demostrasi di Wellington.
Mereka berbicara kepada lebih dari 50 orang, mengatakan penolakan hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri adalah masalah regional Pasifik.
Peringatan 1 Desember Papua ditandai dengan demonstrasi serupa di seluruh dunia , termasuk di Melbourne, Oxford, Honiara, dan The Hague.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
Terkini
-
Targetkan 400 Juta Penumpang Tahun 2025, Dirut Transjakarta: Bismillah Doain
-
Sejarah Terukir di Samarkand: Bahasa Indonesia Disahkan sebagai Bahasa Resmi UNESCO
-
Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Koalisi Sipil Ungkap 9 Dosa Pelanggaran HAM Berat Orde Baru
-
Judi Online Lebih Ganas dari Korupsi? Menteri Yusril Beberkan Fakta Mengejutkan
-
Bangunan Hijau Jadi Masa Depan Real Estate Indonesia: Apa Saja Keuntungannya?
-
KPK Tangkap Gubernur Riau, PKB 'Gantung' Status Abdul Wahid: Dipecat atau Dibela?
-
Sandiaga Uno Ajak Masyarakat Atasi Food Waste dengan Cara Sehat dan Bermakna
-
Mensos Gus Ipul Tegaskan: Bansos Tunai Harus Utuh, Tak Ada Potongan atau Biaya Admin!
-
Tenaga Ahli Gubernur Riau Serahkan Diri, KPK Periksa 10 Orang Terkait OTT
-
Stop Impor Pakaian Bekas, Prabowo Perintahkan Menteri UMKM Cari Solusi bagi Pedagang Thrifting