Suara.com - Perempuan di Myanmar menggunakan cara takhayul yang dipercaya secara luas, dengan menggunakan kain sarung, sebagai gerakan menentang kudeta militer - dan memulainya dengan 'Revolusi Sarung'.
Ada kepercayaan yang dianut secara luas di Myanmar bahwa jika seorang pria berjalan di bawah kain sarung perempuan (htamein, dalam bahasa Burma), maka dia akan kehilangan sebagian kekuatan atau kejayaannya, yang dikenal sebagai "hpone".
Untuk menghentikan langkah pasukan keamanan yang masuk ke area pemukiman warga untuk melakukan penangkapan, para perempuan menggantungkan kain sarung mereka di tali jemuran yang dipasang di atas jalanan.
Di sejumlah tempat, cara ini cukup berhasil.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan polisi menurunkan sarung-sarung dari jemuran tersebut, ketika mereka akan melintasi jalanan.
Para pengunjuk rasa menyerukan untuk mengakhiri pemerintahan militer di Myanmar, dan membebaskan para pemimpin pemerintah yang dipilih secara demokratis, termasuk Aung San Suu Kyi yang telah ditahan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari lalu.
Militer telah menanggapi "kecurangan pemilu", dan menyerahkan kekuasaan pada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing. Militer juga memberlakukan keadaan darurat selama setahun.
Jenderal Ming Aung Hlaing telah lama memiliki pengaruh terhadap politik, dan berhasil mempertahankan kekuatan Tatmadaw - militer Myanmar - bahkan ketika negara itu sedang bergerak menuju demokrasi.
Kepercayaan yang dianut secara luas
Untuk memulai 'Revolusi Sarung', para perempuan mengandalkan takhayul yang dianut secara luas.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Kecam Kudeta Militer Myanmar
"Saya dibesarkan dengan takhayul bahwa Htamein (sarung) perempuan adalah kain najis yang akan menurunkan kekuatan saya, jika diletakan di atas saya, dan banyak teman saya membagikan mitos ini," kata seorang mahasiswa, Htun Lynn Zaw.
Seorang penulis sekaligus podcaster Burma, MiMi Aye, yang saat ini tinggal di Inggris, mengatakan aktivis perempuan menggunakan takhayul seskis ini demi keuntungan mereka.
"Takhayul ini aslinya bukanlah menghilangkan kekuatan pria karena perempuan kotor, perempuan dipandang sebagai makhluk seksual atau penggoda yang dapat menghancurkan pria yang lemah."
Dia menjelaskan tradisi Htamein juga digunakan sebagai simbol keberuntungan.
"Pria yang pergi berperang akan menggulung potongan kecil dari sarung ibu mereka, dan memakainya sebagai anting-anting, dan para pengunjuk rasa selama masa pemberontakan 8888 (pada 1998) mengenakan kain sarung ibu mereka sebagai bandana," kata MiMi Aye.
Para pengunjuk rasa perempuan sekarang memilih memanfaatkan kekuatan kain sarung di ruang publik.
Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret kemarin, mereka mengikat kain sarung ke tiang bendera sebagai bagian apa yang mereka sebut sebagai Revolusi Sarung.
Aktivis pro-demokrasi, Thinzar Shunlei Yi memposting fotonya di internet dengan menuliskan, "Dengan jubah saya... Kain sarung saya telah melindungi saya, lebih baik dari militer di Myanmar."
Sejumlah pengunjuk rasa bahkan menempelkan foto Jenderal senior Min Aung Hlaing-yang merebut kekuasaan-pada pembalut dan disebar di jalan-jalan. Tujuannya untuk menghambat gerak langkah pasukan militer, karena mereka tak mau menginjak wajah pemimpinnya yang tertempel pada pembalut itu.
Pria seperti mahasiswa bernama Htun Lynn Zaw juga mengambil bagian dari gerakan ini, membalut kepalanya dengan kain sarung.
"Ini adalah cara untuk mendukung dan bersolidaritas dengan perempuan-perempuan pemberani yang melakukan protes," katanya di media sosial.
Sejauh ini, lebih dari 54 orang, kebanyakan perempuan, telah dibunuh oleh pasukan keamanan dalam unjuk rasa, menurut kantor urusan Hak Asasi Manusia PBB.
Puluhan negara telah mengutuk aksi kekerasan tersebut, akan tetapi seruan itu diabagikan oleh para pimpin militer.
Akan tetap, perempuan yang berunjuk rasa menolak untuk diam, mereka menggunakan kain sarung untuk menentang kekuasaan militer.
Slogan mereka adalah "Sarung Kami, Panji Kami, Kemenangan Kami".
Berita Terkait
-
4 Tahun di Bawah Kudeta Militer, Jurnalis di Myanmar Hidup dalam Bayang Penangkapan dan Serangan
-
Krisis Nepal Membara! Parlemen Hangus, Pemerintah Jatuh, Militer Ambil Alih
-
Tewaskan 4 Ribu Lebih Warga, Status Darurat Myanmar Diperpanjang 6 Bulan
-
Profil Presiden Burkina Faso Ibrahim Traore yang Dukung Kudeta Militer Niger
-
Konflik Myanmar: Berperang Melawan Militer Demi Demokrasi
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman New Balance untuk Jalan Kaki Jauh
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
Karnaval SCTV di Jember: Pesta Hiburan yang Ikut Menghidupkan Ekonomi Lokal
-
Tak Mau Renovasi! Ahmad Sahroni Pilih Robohkan Rumah Usai Dijarah Massa, Kenapa?
-
Borobudur Marathon 2025 Diikuti Peserta dari 38 Negara, Perputaran Ekonomi Diprediksi Di Atas Rp73 M
-
Langsung Ditangkap Polisi! Ini Tampang Pelaku yang Diduga Siksa dan Jadikan Pacar Komplotan Kriminal
-
Transfer Pusat Dipangkas, Pemkab Jember Andalkan PAD Untuk Kemandirian Fiskal
-
Pelaku Bom SMAN 72 Jakarta Dipindah Kamar, Polisi Segera Periksa Begitu Kondisi Pulih
-
Robohkan Rumah yang Dijarah hingga Rata Dengan Tanah, Ahmad Sahroni Sempat Ungkap Alasannya
-
Jelang Musda, Rizki Faisal Didukung Kader Hingga Ormas Pimpin Golkar Kepri
-
Hakim PN Palembang Raden Zaenal Arief Meninggal di Indekos, Kenapa?
-
Guru Besar UEU Kupas Tuntas Putusan MK 114/2025: Tidak Ada Larangan Polisi Menjabat di Luar Polri