Selain Novavax, ada produsen vaksin berbasis protein lainnya seperti Biological E dari India dan Clover Biopharmaceuticals dari Cina yag juga akan mengajukan kandidat vaksin mereka untuk disetujui.
Lalu ada juga perusahaan Inggris-Prancis, Sanofi-GlaxoSmithKline, perusahaan Kanada bernama Medicago, dan perusahaan Korea Selatan bernama sk bioscience.
Masing-masing tengah terus mengembangkan vaksin berbasis protein mereka. Salah satu poin kunci saat ini adalah bagaimana vaksin berbasis protein diproduksi di lebih banyak negara.
Di beberapa negara, seperti Kuba, Rusia, dan Taiwan, vaksin berbasis protein menjadi standar dalam kampanye vaksin nasional.
Apa yang membedakan vaksin berbasis protein?
Vaksin berbasis protein berisi protein yang sangat kecil dan mirip spike protein COVID-19.
Sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap protein dalam vaksin, dan reaksinya jauh lebih cepat karena — bertentangan dengan vaksin lain — ia tidak harus memproduksi protein itu sendiri.
Protein diantarkan dalam vaksin. Vaksin Novavax tidak berisikan virus corona yang telah mati. Sebagai gantinya, para pengembang menggunakan nanoteknologi rekombinan untuk menghasilkan partikel terkecil yang menyerupai spike protein SARS-CoV-2.
Menggunakan sel serangga, para pengembang menciptakan nanopartikel yang dikenali oleh sistem kekebalan tubuh sebagai virus — partikel mirip virus meskipun itu bukan virus — dan kemudian bereaksi sesuai dengan itu.
Baca Juga: Awal Tahun 2022, Novavax Siap Bikin Vaksin COVID-19 Varian Omicron
Nanopartikel tersebut tidak membawa DNA virus dan karenanya menghasilkan lebih sedikit efek samping pada tubuh manusia.
Namun, respons imun manusia lebih lemah.
Efek yang lebih kuat dengan adjuvant
Untuk memperkuat respons imun, para pengembang menambahkan apa yang disebut adjuvant pada vaksin-vaksin ini.
Dalam kasus vaksin Novavax, bahan pembantunya adalah saponin (diekstrak dari Quillaja saponaria atau pohon kulit sabun), bersama dengan kolesterol dan fosfolipid.
Beberapa kritikus vaksin mengatakan beberapa adjuvant, seperti garam aluminium, berbahaya. Namun, meta-studi sejauh ini gagal menemukan hubungan antara adjuvant tersebut dan efek samping atau alergi yang serius.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
-
Hasil Liga Champions: Kalahkan Bayern Muenchen, Arsenal Kokoh di Puncak Klasemen
-
Menkeu Purbaya Diminta Jangan Banyak Omon-omon, Janji Tak Tercapai Bisa Jadi Bumerang
Terkini
-
Menkes Sesalkan Kematian Ibu Hamil di Papua, Janji Perbaikan Layanan Kesehatan Agar Tak Terulang
-
Danau Maninjau Sumbar Diserbu Longsor dan Banjir Bandang: Akses Jalan Amblas, Banyak Rumah Tersapu!
-
Terungkap! Rangkaian Kekejaman Alex, Bocah Alvaro Kiano Dibekap Handuk, Dicekik, Jasad Dibuang
-
Kronologi Brutal Legislator DPRD Bekasi Diduga Keroyok Warga di Kafe hingga Retina Korban Rusak
-
Perempuan Jadi Pilar Utama Ketahanan Keluarga ASN, Pesan Penting dari Akhmad Wiyagus
-
TelkomGroup Fokus Lakukan Pemulihan Layanan Infrastruktur Terdampak Bencana di Sumatra Utara - Aceh
-
Provinsi Maluku Mampu Jaga Angka Inflasi Tetap Terkendali, Mendagri Berikan Apresiasi
-
KPK Beberkan 12 Dosa Ira Puspadewi di Kasus ASDP, Meski Dapat Rehabilitasi Prabowo
-
86 Korban Ledakan SMAN 72 Dapat Perlindungan LPSK, Namun Restitusi Tak Berlaku bagi Pelaku Anak
-
Siapa Vara Dwikhandini? Wanita yang Disebut 24 Kali Check In dengan Arya Daru Sebelum Tewas