Suara.com - Dugaan penyelewengan donasi publik oleh pimpinan Aksi Cepat Tanggap (ACT), bisa saja terjadi di filantropi atau yayasan yang bergerak dalam bidang serupa. Hal itu dikarenakan kekosongan dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang tidak mengatur secara detail standarisasi komisi yang diperbolehkan diambil.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri menyebut, kasus ini terekspos ke publik karena nama besar ACT yang sudah terkenal.
"Sepanjang yang saya tahu untuk skala besar ya, ini baru terjadi sekarang. Tidak tertutup kemungkinan untuk skalanya lebih kecil, mungkin lembaga atau pengelolah yang sebesar ACT ada juga kejadian seperti ini. Jadi ini bisa menimpa kepada institusi pengelolah donasi manapun," kata Ronald saat dihubungi Suara.com, Selasa (5/7/2022) malam.
Dia menjelaskan, dugaan penyelewengan terjadi karena kekosongan dalam Undang-Undang Tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang tidak eksplisit mengatur besaran komisi yang boleh diambil lembaga.
"Salah satunya ketidakmampuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 beradaptasi dengan situasi sekarang, dan Undang-Undang itu tidak dilaksanakan secara maksimal," ujarnya.
Beranjak dari kasus dugaan yang menimpa ACT, sudah saatnya pemerintah dan DPR memperbarui aturan yang ada. Karena dikhawatirkan berdampak terhadap kepercayaan publik.
"Lembaga pengelolah donasi yang sudah punya nama sekalipun seharusnya tidak membuat masyarakat menjadi abai, karena bagaimana pun, ini kan haknya masyarakat sebagai donatur untuk menanyakan," ujar Ronald.
Kasus yang diduga menimpa ACT juga dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih jeli menyalurkan bantuannya.
"Jadi ini ada edukasi dan literasi juga. Dan ini sebenarnya dapat difasilitasi dengan standar minimum kontrak, antara donatur dengan lembaga pengelolah donasi ditujukan kepada masyarakat," tuturnya.
Baca Juga: Fakta-fakta PPATK Temukan Kejanggalan dalam Aliran Dana ACT
"Pekerjaan rumah yang terbanyak itu sebenarnya ada di pemerintah bersama DPR untuk memperbarui Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Karena tadi yang saya katakan standar minimum kontrak harusnya bisa diatur dalam pembaharuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961," sambungnya.
Respons ACT
Saat mengelar konferensi pers di Kantor ACT, Jakarta Pusat, Presiden ACT, Ibnu Khajar mengungkap alasan digulingkan Ahyudin. Dia mengatakan sosok pendiri ACT dinilai otoriter dan cenderung bersikap one man show selama menahkodai lembaga.
"Gaya kepemimpinan beliau yang one men show yang cenderung otoriter sehingga organisasi tidak nyaman, dinasehati dan dia mengundurkan diri," kata Ibnu pada Senin (4/7/2022) kemarin.
Namun, Ibnu membantah sejumlah temuan majalah Tempo di antaranya gaji Ahyudin Rp 250 juta, fasilitas mobil mewah, dan penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi Ahyudin.
Kekinian semenjak Ahyudin digulingkan pada 11 Januari 2021, ACT melakukan sejumlah perbaikan struktural di antaranya menetapkan masa jabatan presiden selama 3 tahun dan boleh menjabat dua kali. Kemudian dewan pembina, masa jabatannya hanya 4 tahun, dan boleh menjabat dua kali melalui pemilihan.
Tag
Berita Terkait
-
Fakta-fakta PPATK Temukan Kejanggalan dalam Aliran Dana ACT
-
Cerita Mahfud MD Ditodong Promosikan Program ACT
-
Jadi Brand Ambassador, Fauzi Baadila Jawab Tudingan Nikmati Uang ACT
-
Mahfud MD Sebut ACT Harus Diproses Hukum Jika Ada Bukti Selewengkan Dana Kemanusiaan
-
Menko Polhukam Dukung Proses Hukum ACT
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Terbongkar! Bisnis Pakaian Bekas Ilegal Rp669 M di Bali Libatkan Warga Korsel, Ada Bakteri Bahaya
-
Mendagri Tegaskan Peran Komite Eksekutif Otsus Papua: Sinkronisasi Program Pusat dan Daerah
-
Prabowo ke Menteri: Tenang Saja Kalau Dimaki Rakyat, Itu Risiko Pohon Tinggi Kena Angin
-
Bahlil Lapor ke Prabowo Soal Energi Pasca-Bencana: Insyaallah Aman Bapak
-
Manuver Kapolri, Aturan Jabatan Sipil Polisi akan Dimasukkan ke Revisi UU Polri
-
KPK Geledah Rumah Plt Gubernur Riau, Uang Tunai dan Dolar Disita
-
Bersama Kemendes, BNPT Sebut Pencegahan Terorisme Tidak Bisa Dilaksanakan Melalui Aktor Tunggal
-
Bareskrim Bongkar Kasus Impor Ilegal Pakaian Bekas, Total Transaksi Tembus Rp668 Miliar
-
Kasus DJKA: KPK Tahan PPK BTP Medan Muhammad Chusnul, Diduga Terima Duit Rp12 Miliar
-
Pemerintah Aceh Kirim Surat ke PBB Minta Bantuan, Begini Respons Mendagri