Suara.com - Berbicara mengenai perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, maka pemerintah merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap hal tersebut. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam pasal tersebut jelas tertulis “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.” Kendati begitu, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai hal tersebut masih jauh panggang dari api.
LaNyalla menilai perlu banyak pembenahan dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Padahal, kata LaNyalla, penegakan HAM merupakan tujuan dan cita-cita lahirnya bangsa dan negara ini seperti tertuang di dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
"Namun fakta empirik terhadap perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi di Indonesia masih sangat jauh dari kata ideal," tegas LaNyalla, saat menyampaikan materi pada acara Law Expedition yang diselenggarakan oleh Solidaritas Mahasiswa Hukum untuk Indonesia Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Minggu (19/11/2023).
Dikatakan LaNyalla, selain pemerintah, tugas untuk memastikan pemenuhan HAM dapat terwujud juga menjadi kewajiban warga negara. Hal ini selaras dengan nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia yang monodualistik. Bukan murni individualis, seperti masyarakat di negara liberal, tetapi juga bukan total komunal seperti masyarakat di negara Komunis.
"Indonesia, sesuai nilai falsafah dasarnya yaitu Pancasila, menganut aliran bahwa masyarakat Indonesia adalah monodualistik. Di satu sisi sebagai pribadi atau individu, tetapi di sisi lain sebagai masyarakat yang terikat dalam hubungan sosial," tutur LaNyalla.
Dengan demikian, Senator asal Jawa Timur itu menilai hakikat nilai HAM Indonesia seharusnya tetap dalam koridor kepentingan masyarakat di atas kepentingan individu. Itulah mengapa Indonesia mengakui juga hukum adat dan hukum agama.
Di sisi lain, LaNyalla menilai pemerintah memikul tanggung jawab yang besar dalam hal isu HAM ini. Sebabnya, jika mengacu pada data yang disajikan oleh Komnas HAM, termasuk yang tercatat di Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan, baik di ranah individu, maupun ranah kelompok masyarakat atau penduduk, banyak sekali terjadi pelanggaran HAM.
Apalagi jika kita kaji dari aspek pemenuhan jaminan sosial terhadap warga negara, yang masih jauh dari sempurna, adalah salah satu wujud pelanggaran HAM yang masih terjadi.
Baca Juga: Moralitas Pidana Mati: Apakah Kita Berhak Memutus Nyawa Orang Lain?
"Karena dalam praktiknya, kewajiban pemerintah untuk menjamin warga negara dapat mengakses kesejahteraan dan kebutuhan hidupnya, diwujudkan sebagai subsidi. Sehingga sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut, jika APBN dinilai tidak mampu lagi mengcover biaya tersebut," ucap LaNyalla.
Padahal, menurut LaNyalla, hal itu adalah kewajiban pemerintah, tetapi diubah menjadi subsidi, sehingga menjadi opsional atau pilihan. Dengan demikian subsidi dapat dihapus. Lalu diganti dengan opsi lain, seperti BLT atau apapun namanya, yang kita tidak bisa mengecek di lapangan apakah itu tepat sasaran, atau tidak.
Situasi ini dapat kita sebut, bahwa kewajiban pemerintah sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar telah digeser ranahnya.
"Dari kewajiban menjadi subsidi yang sewaktu-waktu dapat dicabut. Hal ini pada hakikatnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas kesejahteraan. Karena tujuan dari lahirnya negara ini adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa," papar LaNyalla.
Apalagi jika kita tarik lebih jauh lagi ke dalam praktik pembangunan yang justru bukan mengentaskan kemiskinan, tetapi malah memindahkan kemiskinan. Atau malah menghasilkan konflik agraria yang berakibat terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah.
Terkait hal tersebut di atas, kita bisa meninjau dari pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang menurut catatan Lembaga Konsorsium Pembaruan Agraria justru memicu peningkatan secara signifikan jumlah pelanggaran HAM akibat penanganan konflik agraria di lapangan.
Dikatakan LaNyalla, konflik agraria yang berujung pelanggaran HAM juga terjadi di sektor-sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan. "Semua ini dipicu oleh lemahnya keberpihakan pemerintah kepada penduduk atau warga negara, tetapi lebih berpihak kepada kepentingan investasi oleh swasta nasional maupun asing," tegas LaNyalla.
Menurutnya, kajian terhadap keadilan hukum dalam perspektif pembangunan ini tentu juga menarik untuk dipelajari lebih dalam dari sisi hak asasi manusia oleh para Juris di Fakultas Hukum.
Oleh karena itu, LaNyalla berharap para Juris, khususnya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dapat memberikan telaah kritis dan masukan kepada pemerintah, terkait kewajiban pemenuhan hak asasi manusia, yang sejatinya menjadi kewajiban, seperti tertuang di dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan tujuan dan cita-cita lahirnya bangsa dan negara ini.
Berita Terkait
-
6 Urgensi Pelindungan Pekerja dari Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
-
Pencari Suaka di Inggris Menderita Ditempatkan di Asrama apung yang Tak Layak: Seperti di Penjara Alcatraz
-
Modus Baru Pembungkaman Hak Berpendapat, Haris Azhar: Kritik Dianggap Fitnah dan Hinaan
-
Sebut Tragedi Kudatuli Pelanggaran HAM Paling Brutal, Usman Hamid Dorong Bentuk Pengadilan HAM Ad Hoc
-
Marak Kasus TPPO, Ini 6 Modus Perdagangan Manusia yang Wajib Diwaspadai
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Tak Mau PPP Terbelah, Agus Suparmanto Sebut Klaim Mardiono Cuma Dinamika Biasa
-
Zulhas Umumkan 6 Jurus Atasi Keracunan Massal MBG, Dapur Tak Bersertifikat Wajib Tutup!
-
Boni Hargens: Tim Transformasi Polri Bukan Tandingan, Tapi Bukti Inklusivitas Reformasi
-
Lama Bungkam, Istri Arya Daru Pangayunan Akhirnya Buka Suara: Jangan Framing Negatif
-
Karlip Wartawan CNN Dicabut Istana, Forum Pemred-PWI: Ancaman Penjara Bagi Pembungkam Jurnalis!
-
AJI Jakarta, LBH Pers hingga Dewan Pers Kecam Pencabutan Kartu Liputan Jurnalis CNN oleh Istana
-
Istana Cabut kartu Liputan Wartawan Usai Tanya MBG ke Prabowo, Dewan Pers: Hormati UU Pers!
-
PIP September 2025 Kapan Cair? Cek Nominal dan Ketentuan Terkini
-
PLN Perkuat Keandalan Listrik untuk PHR di WK Rokan Demi Ketahanan Energi Nasional
-
PN Jaksel Tolak Praperadilan, Eksekusi Terpidana Kasus Pencemaran Nama Baik JK Tetap Berlanjut