Suara.com - Seni tradisional Indonesia, sebagai benteng kebudayaan Nusantara, semakin tergerus di tengah arus perubahan zaman. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI), dari total 71 seniman budaya tradisional yang menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia, hanya 43 orang yang masih hidup dan tersebar di seluruh Indonesia.
Semakin miris, mengingat minat generasi muda terhadap kesenian tradisional yang masih rendah. Tanpa strategi budaya yang efektif, seni tradisional ini berisiko hilang ditelan zaman. Padahal, seni tradisional yang dikelola dengan baik adalah aset yang dapat mendorong kemajuan bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan terus fokus mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK), yang telah membawa transformasi signifikan dalam pengelolaan kebudayaan di Indonesia.
Eko Supriyanto, koreografer dan dosen tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang ditemui pada acara Mata Najwa On Stage “Panggung Warisan Budaya” pekan lalu menyebutkan bahwa dukungan pemerintah untuk memajukan seni tradisional saat ini sudah sangat baik, mengurangi keresahan yang sebelumnya dirasakan oleh pelaku seni dan budaya tradisional.
“Sebetulnya, saat ini kami sudah tidak resah. Kami yakin dengan adanya Direktorat Jenderal Kebudayaan yang dipimpin oleh Pak Hilmar (Dirjen Kebudayaan) dan Pak Mahendra (Direktur Perfilman) yang sangat mendukung, keresahan ini sudah berubah menjadi geliat yang menantang. Tradisi kita semakin baik,” tuturnya.
Dalam mengelola kebudayaan, perencanaan kebijakan kini bersifat partisipatif, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan secara langsung (bottom-up). Pemerintah beralih peran dari eksekutor menjadi fasilitator, mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan.
Fokus intervensi kebijakan juga bergeser dari yang semula terpaku pada cabang-cabang budaya tertentu, menjadi pendekatan holistik pada ekosistem kebudayaan secara keseluruhan. Hal ini memastikan keberlanjutan setiap praktik dan ekspresi budaya yang ada.
Salah satu nama besar di bidang seni tradisional, Didik Nini Thowok, yang telah berkarya hampir 50 tahun, turut merasakan perubahan positif dari pengelolaan kebudayaan saat ini.
Menurutnya, kehidupan seni tradisional yang mengandalkan pertunjukan dari panggung ke panggung semakin terpuruk selama pandemi. Dia sangat bersyukur dengan program-program dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yang tidak hanya menghidupkan kesenian tradisional tetapi juga membantu perekonomian pelaku seni budaya tradisional.
Baca Juga: Ditjen Kebudayaan Mendorong Pemenuhan Hak Jaminan Sosial Bagi Pelaku Budaya
“Pada saat pandemi, saya sempat jatuh, tapi berkat program-program dari Pak Dirjen, saya diberikan kesempatan untuk terus berkarya,” tuturnya.
Didik, yang telah berkarya selama 49 tahun, telah meraih berbagai penghargaan baik di tingkat lokal maupun internasional.
Program-program seperti Dana Indonesiana dan Pekan Kebudayaan Nasional telah mengaktifkan peran pemerintah sebagai fasilitator, meningkatkan kualitas tata kelola layanan kebudayaan, membuka akses dan menjamin pemerataan kesempatan, serta mendorong inovasi dan partisipasi publik dalam pemajuan kebudayaan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid, menyatakan bahwa seni tradisi seringkali bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari ritual dengan makna yang mendalam. Menurutnya, ketika masyarakat bergerak menuju modernitas, praktik spiritual dan kultural ini cenderung memudar, membuat apresiasi terhadap seni tradisi menjadi sulit.
“Solusinya adalah memperbarui atau memodifikasi seni tradisi agar lebih mudah diakses. Misalnya, menghadirkan versi ringkas dari tarian panjang tanpa menghilangkan maknanya. Penting juga memasukkan seni tradisi dalam pendidikan, agar masyarakat memahami bahwa ini bukan hanya tontonan, tetapi bagian dari praktik kultural dan spiritual. Edukasi ini penting untuk mengurangi kesenjangan apresiasi seni tradisi,” tutup Hilmar.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 9 Sepatu Lokal Senyaman Skechers Ori, Harga Miring Kualitas Juara Berani Diadu
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 7 Desember: Raih Pemain 115, Koin, dan 1.000 Rank Up
Pilihan
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Sentuh Rp70 Ribu
-
Shell hingga Vivo sudah Ajukan Kuota Impor 2026 ke ESDM: Berapa Angkanya?
-
Kekhawatiran Pasokan Rusia dan Surplus Global, Picu Kenaikan Harga Minyak
-
Survei: Kebijakan Menkeu Purbaya Dongkrak Optimisme Konsumen, tapi Frugal Spending Masih Menguat
-
Penipuan Pencairan Dana Hibah SAL, BSI: Itu Hoaks
Terkini
-
Perkuat Newsroom di Era Digital, Local Media Community, Suara.com dan Google Gelar TOT AI Jurnalis
-
DPR Buka Revisi UU Kehutanan, Soroti Tata Kelola Hutan hingga Dana Reboisasi yang Melenceng
-
Peringati Hari HAM, Pemimpin Adat Papua Laporkan Perusahaan Perusak Lingkungan ke Mabes Polri
-
Pasang Badan Lindungi Warga dari Runtuhan Kaca, Kapolsek Kemayoran Dilarikan ke Meja Operasi
-
Ribuan Aparat Gabungan Amankan Aksi Buruh Gebrak di Jakarta Peringati Hari HAM Sedunia
-
Moncong Truk Trailer Ringsek 'Cium' Separator Busway Daan Mogot, Jalur TransJakarta Sempat Tertutup
-
Pura-pura Bayar Utang, Pemuda di Karawang Tega Tusuk Pasutri Lalu Sembunyi di Plafon
-
Kemenpar Klarifikasi Isu Larang Airbnb, Ini Fakta Terkait Penataan OTA di Bali
-
Dukcapil Bantu Warga Terdampak Banjir di Sumatera untuk Segera Dapatkan Layanan Adminduk
-
Digitalisasi Adminduk Selamatkan Triliunan Dana Bansos, Mendagri: Dukcapil Harus Lebih Agresif!