Suara.com - Reporters Without Borders (RSF) merilis Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025 dengan hasil yang mencemaskan. Kebebasan pers global kini diklasifikasikan dalam situasi "sulit".
Untuk pertama kalinya dalam sejarah indeks ini, indikator ekonomi, salah satu dari lima pilar penilaian, mencatat skor terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kerapuhan ekonomi media kini menjadi ancaman utama kebebasan pers, bahkan lebih besar daripada serangan fisik terhadap jurnalis.
Menurut RSF, krisis ini bukan sekadar masalah pendanaan, tetapi sudah merusak akar keberlanjutan jurnalisme. Tekanan dari konsentrasi kepemilikan media, dominasi platform digital besar, serta bantuan publik yang tidak transparan atau minim menjadi faktor utama keretakan ini. Media saat ini berada dalam posisi terjepit antara menjaga independensi editorial dan bertahan secara ekonomi.
“Tanpa kemandirian ekonomi, tidak akan ada pers yang bebas. Jika media terkendala secara finansial, mereka cenderung mengorbankan kualitas pelaporan demi menarik audiens, dan akhirnya menjadi alat propaganda pihak berkepentingan,” ujar Direktur Editorial RSF, Anne Bocandé dalam keterangannya.
Krisis Ekonomi, Gelombang Penutupan Media
Dari 180 negara yang dinilai, sebanyak 160 negara — atau 88,9 persen — melaporkan bahwa media di wilayah mereka mengalami kesulitan berat dalam menjaga stabilitas finansial. Bahkan, hampir sepertiga dari negara-negara tersebut mengalami penutupan media karena krisis ekonomi.
Fenomena ini tercatat terjadi di Tunisia (peringkat 129, turun 11 peringkat), Argentina (peringkat 87, turun 21 peringkat), dan Yunani (peringkat 89). Negara-negara dengan skor tinggi seperti Selandia Baru (peringkat 16) dan Afrika Selatan (peringkat 27) pun tak luput dari tekanan yang sama.
Situasi semakin memburuk di negara-negara yang mengalami tekanan politik dan ekonomi secara bersamaan. Di Nikaragua (peringkat 172), Belarus (166), Iran (176), dan Afghanistan (175), penutupan media menyebabkan puluhan jurnalis terpaksa mengasingkan diri demi keselamatan.
Amerika Serikat: Krisis di Negeri Demokrasi
Baca Juga: Siap Lawan Kim Soo-hyun, Keluarga Klaim Kim Sae-ron Punya 5 HP dan 4 Laptop
Amerika Serikat, yang kini berada di peringkat 57 (turun 2 peringkat), menjadi contoh nyata negara demokratis yang gagal melindungi ekosistem medianya. Dalam dua tahun terakhir, skor indikator ekonomi AS anjlok lebih dari 14 poin. Jurnalisme lokal terpukul keras, menciptakan “gurun berita” di banyak wilayah.
Di negara bagian seperti Arizona, Florida, Nevada, dan Pennsylvania, lebih dari 60 persen jurnalis menyatakan bahwa upah layak semakin sulit dicapai, dan 75 persen responden mengatakan bahwa media menghadapi tantangan serius untuk bertahan hidup secara finansial.
Pemerintahan Donald Trump, dalam periode keduanya, memperburuk keadaan dengan menggunakan dalih ekonomi untuk memangkas pendanaan publik media, termasuk USAGM yang mengelola Voice of America dan Radio Free Europe. Akibatnya, lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia kehilangan akses ke informasi yang terpercaya.
Dominasi Platform Digital dan Oligarki Media
Tekanan ekonomi media semakin diperparah oleh dominasi raksasa teknologi seperti Google, Apple, Facebook, Amazon, dan Microsoft. Platform-platform ini menyedot sebagian besar belanja iklan yang sebelumnya menopang media berita. Pada 2024, pengeluaran iklan di media sosial mencapai USD 247,3 miliar — meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya — namun tidak berdampak positif pada industri berita.
Masalah lain adalah konsentrasi kepemilikan media. Di 46 negara, kepemilikan media sangat terkonsentrasi, bahkan dikendalikan penuh oleh negara atau oligarki. Rusia (peringkat 171) dan Hungaria (peringkat 68) adalah contoh ekstrem. Di Rusia, media berada di bawah kendali Kremlin atau oligarki dekat pemerintah, sementara di Hungaria, pemerintah mendikte arah editorial melalui distribusi iklan negara yang tidak merata.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Bobby Nasution Berikan Pelayanan ke Masyarakat Korban Bencana Hingga Dini Hari
-
Pramono Anung Beberkan PR Jakarta: Monorel Rasuna, Kali Jodo, hingga RS Sumber Waras
-
Hujan Ringan Guyur Hampir Seluruh Jakarta Akhir Pekan Ini
-
Jelang Nataru, Penumpang Terminal Pulo Gebang Diprediksi Naik Hingga 100 Persen
-
KPK Beberkan Peran Ayah Bupati Bekasi dalam Kasus Suap Ijon Proyek
-
Usai Jadi Tersangka Kasus Suap Ijon Proyek, Bupati Bekasi Minta Maaf kepada Warganya
-
KPK Tahan Bupati Bekasi dan Ayahnya, Suap Ijon Proyek Tembus Rp 14,2 Miliar
-
Kasidatun Kejari HSU Kabur Saat OTT, KPK Ultimatum Segera Menyerahkan Diri
-
Pengalihan Rute Transjakarta Lebak Bulus - Pasar Baru Dampak Penebangan Pohon
-
Mendagri: Pemerintah Mendengar, Memahami, dan Menindaklanjuti Kritik Soal Bencana