Suara.com - Menjelang akhir bulan Mei hingga awal Juni, biasanya Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Musim kemarau identik dengan hari-hari yang panas dan kering.
Namun, di tengah kekeringan yang biasanya mendominasi, terdapat satu fenomena yang belakangan menjadi sorotan: kemarau basah. Lantas, apa itu kemarau basah, dan bagaimana dampaknya terhadap cuaca dan aktivitas masyarakat?
Laman Live Science menyebut kemarau basah adalah kondisi ketika hujan masih tetap terjadi meski wilayah tersebut secara iklim telah memasuki musim kemarau. Meski frekuensinya menurun dibanding musim hujan, intensitas hujan yang turun pada periode ini tetap tergolong tinggi. Fenomena ini kerap membingungkan masyarakat karena seharusnya musim kemarau berarti minim curah hujan.
Kemarau basah dipengaruhi oleh sejumlah faktor dinamika atmosfer regional dan global. Beberapa penyebab utamanya antara lain suhu muka laut yang lebih hangat dari normal, angin monsun yang masih aktif, serta fenomena iklim seperti La Nina atau Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Semua faktor ini dapat memicu tetap terbentuknya awan hujan di berbagai wilayah, meski secara kalender telah memasuki musim kemarau.
Prediksi Musim Kemarau 2025: Tidak Sepenuhnya Kering
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa awal musim kemarau 2025 telah dimulai sejak April dan akan terus meluas secara bertahap di berbagai wilayah Indonesia hingga Juni. Namun, yang menarik, musim kemarau tahun ini diprediksi tidak berlangsung serempak dan cenderung lebih pendek dibanding biasanya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam keterangan resminya ditulis Selasa (21/5/2025) menyebut bahwa sebanyak 115 Zona Musim (ZOM) telah memasuki musim kemarau pada April 2025. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat pada Mei dan Juni, mencakup wilayah-wilayah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua.
Meski demikian, berdasarkan prediksi BMKG, sekitar 26% wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah tahun ini. Artinya, meskipun sudah masuk musim kemarau, hujan masih akan turun secara berkala di sejumlah daerah. Wilayah-wilayah yang diperkirakan mengalami kondisi ini mencakup sebagian besar Lampung, Jawa bagian barat hingga tengah, Bali, NTB, NTT, dan beberapa bagian Papua.
Sebagai perbandingan, sebanyak 60% wilayah Indonesia akan mengalami kemarau dengan sifat normal, sementara 14% sisanya diperkirakan mengalami musim kemarau yang lebih kering dari biasanya.
Baca Juga: Panas Ekstrem Akibat Krisis Iklim Picu Risiko Kehamilan, Adakah Solusi Atasinya?
Dampak Kemarau Basah terhadap Kehidupan Masyarakat
Fenomena kemarau basah bisa memberikan tantangan sekaligus peluang. Di sektor pertanian, misalnya, curah hujan yang masih terjadi selama musim kemarau dapat mendukung produktivitas pertanian apabila dikelola dengan baik. Namun, hal ini juga bisa memicu masalah seperti potensi serangan hama atau gagal panen jika jadwal tanam tidak disesuaikan.
Untuk itu, BMKG merekomendasikan sejumlah langkah mitigasi, seperti penyesuaian jadwal tanam, pemilihan varietas tanaman tahan kekeringan, serta optimalisasi pengelolaan air. Di sisi lain, wilayah yang mengalami kemarau basah bisa memanfaatkan peluang ini untuk memperluas area tanam dengan tetap memperhatikan kondisi lahan dan iklim lokal.
Pentingnya Mitigasi dan Adaptasi
Puncak musim kemarau 2025 diprediksi terjadi pada Juni hingga Agustus. Namun, dengan adanya kemarau basah di sejumlah daerah, masyarakat dan pemerintah daerah perlu mengambil langkah antisipatif. Pengelolaan air bersih, ketersediaan pangan, dan kesiapan menghadapi potensi bencana harus menjadi prioritas.
BMKG juga menegaskan bahwa suhu muka laut di wilayah Indonesia yang cenderung hangat hingga September 2025 berpotensi memengaruhi cuaca lokal. Oleh karena itu, koordinasi lintas sektor diperlukan, terutama dalam memastikan bahwa sektor pertanian, energi, dan kesehatan tetap berjalan optimal di tengah dinamika iklim yang tidak menentu.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Sunscreen Terbaik untuk Flek Hitam Usia 50 Tahun, Atasi Garis Penuaan
- 3 Link DANA Kaget Khusus Hari Ini, Langsung Cair Bernilai Rp135 Ribu
- 14 Kode Redeem FC Mobile Hari Ini 7 Oktober 2025, Gaet Rivaldo 112 Gratis
- Sosok Profesor Kampus Singapura yang Sebut Pendidikan Gibran Cuma Setara Kelas 1 SMA
- 5 Fakta Heboh Kasus Video Panas Hilda Pricillya dan Pratu Risal yang Guncang Media Sosial
Pilihan
-
Stop Lakukan Ini! 5 Kebiasaan Buruk yang Diam-diam Menguras Gaji UMR-mu
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
-
Istri Thom Haye Keram Perut, Jadi Korban Perlakuan Kasar Aparat Keamanan Arab Saudi di Stadion
-
3 Rekomendasi HP 1 Jutaan Kemera Terbaik, Mudah Tapi Bisa Diandalkan
-
Kontroversi Penalti Kedua Timnas Indonesia, Analis Media Arab Saudi Soroti Wasit
Terkini
-
Di Bawah Presiden Baru, Suriah Ingin Belajar Islam Moderat dan Pancasila dari Indonesia
-
Prediksi FAO: Produksi Beras RI Terbesar Kedua di Dunia, Siapa Nomor Satu?
-
Biaya Sewa Kios Pasar Pramuka Naik 4 Kali Lipat, Pramono Anung Janji Tak Ada Penggusuran!
-
Swasembada Pangan! Mentan: InsyaAllah Tak Impor Beras Lagi, Mudah-mudahan Tak Ada Iklim Ekstrem
-
Indonesia Jadi Prioritas! Makau Gelar Promosi Besar-besaran di Jakarta
-
Cak Imin Bentuk Satgas Audit dan Rehabilitasi Gedung Pesantren Rawan Ambruk
-
Semarang Siap Jadi Percontohan, TPA Jatibarang Bakal Ubah Sampah Jadi Energi Listrik
-
Ragunan Buka hingga Malam Hari, Pramono Anung: Silakan Pacaran Baik-Baik
-
Skandal Robot Trading Fahrenheit: Usai Kajari Jakbar Dicopot, Kejagung Buka Peluang Pemecatan
-
Pengacara Nadiem: Tak Ada Pertanyaan Kerugian Negara di BAP, Penetapan Tersangka Cacat Hukum