Suara.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dokumen ini menetapkan penambahan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW dan sistem penyimpanan energi 10,3 GW.
Sekilas, angka ini terlihat ambisius. Namun, bagi kalangan pengamat dan organisasi advokasi energi seperti Institute for Essential Services Reform (IESR), rencana ini belum cukup menunjukkan keberanian untuk mewujudkan transisi energi yang adil dan mendalam.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai target energi terbarukan dalam RUPTL ini masih lebih rendah dibanding komitmen dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yaitu 56 GW pada 2030.
Ini menandakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyelaraskan langkahnya dengan target iklim global, khususnya untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris.
Selain itu, Fabby menyoroti buruknya performa eksekusi PLN dalam mewujudkan rencana sebelumnya. Dalam RUPTL 2021–2030, dari target 10 GW pembangkit yang seharusnya sudah mulai beroperasi, hanya 1,6 GW yang terealisasi hingga pertengahan 2025. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh lambannya proses lelang pembangkit energi terbarukan dan negosiasi perjanjian jual beli listrik (PPA) yang bertele-tele.
“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA). Akibatnya realisasi energi terbarukan rendah dan keamanan pasokan listrik jangka panjang terancam,” kata Fabby.
Yang lebih mengkhawatirkan, RUPTL baru ini masih memuat penambahan pembangkit berbasis energi fosil: 10,3 GW gas dan 6,2 GW PLTU batu bara. Bahkan, terdapat 2,8 GW PLTU yang masih akan beroperasi pasca-2030, bertentangan dengan Perpres 112/2022 yang menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2050 untuk mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.
Masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam daftar juga menimbulkan pertanyaan serius karena belum adanya kerangka regulasi, risiko keselamatan tinggi, dan minimnya penerimaan publik.
IESR juga mempertanyakan ketergantungan PLN pada gas bumi yang pasokannya tidak stabil dan harganya fluktuatif. Saat ini saja, PLN sudah kesulitan mendapatkan pasokan gas yang cukup. Jika penggunaan gas meningkat drastis, maka ketahanan energi nasional bisa terganggu. Dalam situasi ini, memperluas pengembangan EBT dinilai sebagai opsi yang lebih andal dan berbiaya lebih rendah dalam jangka panjang.
Baca Juga: PLN IP Percepat Transisi Energi Bali Lewat PLTS Terapung Estetik di Muara Nusa Dua
“Saat ini pun PLN menghadapi kesulitan memenuhi ketersediaan gas untuk pembangkitnya. Jika kebutuhan meningkat dua hingga tiga kali lipat ke depan, ancaman dan risiko terhadap terpenuhinya kebutuhan gas PLN akan semakin besar. Dalam situasi ini, pengembangan energi terbarukan yang lebih besar menjadi pilihan yang lebih rendah risiko karena tidak hanya memperkuat keandalan sistem energi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya biaya energi yang lebih terjangkau bagi masyarakat,” ujar Fabby.
Lebih lanjut, Program Manager Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menekankan perlunya mendorong keterlibatan swasta melalui skema seperti Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT).
PBJT diyakini bisa mempercepat investasi EBT, meringankan beban PLN, dan memperluas akses energi bersih bagi konsumen industri maupun publik. IESR telah memetakan potensi EBT hingga 333 GW yang secara finansial layak, dengan mayoritas proyek memiliki tingkat pengembalian investasi di atas 10%.
“Adanya kepastian terhadap PBJT akan memperluas opsi pengembangan energi terbarukan dan mendorong partisipasi swasta termasuk konsumen energi, sehingga dapat menarik investasi energi terbarukan. PBJT dapat diatur agar memberikan pendapatan tambahan yang dapat digunakan PLN untuk mengelola pengembangan jaringannya sehingga membantu pencapaian rencana RUPTL atau bahkan melampauinya,” ujar Deon.
Namun semua itu butuh komitmen kuat, kebijakan yang progresif, dan keberanian untuk meninggalkan ketergantungan pada energi fosil. Tanpa itu, transisi energi hanya akan jadi slogan, sementara krisis iklim dan potensi defisit listrik kian nyata.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- Pemain Keturunan Jerman Ogah Kembali ke Indonesia, Bongkar 2 Faktor
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
DPR Usul Presiden Bentuk Kementerian Bencana: Jadi Ada Dirjen Longsor, Dirjen Banjir
-
Pemerintah Pulangkan 2 WN Belanda Terpidana Kasus Narkotika Hukuman Mati dan Seumur Hidup
-
Aksi 4 Ekor Gajah di Pidie Jaya, Jadi 'Kuli Panggul' Sekaligus Penyembuh Trauma
-
Legislator DPR Desak Revisi UU ITE: Sikat Buzzer Destruktif Tanpa Perlu Laporan Publik!
-
Lawatan ke Islamabad, 6 Jet Tempur Sambut Kedatangan Prabowo di Langit Pakistan
-
Kemensos Wisuda 133 Masyarakat yang Dianggap Naik Kelas Ekonomi, Tak Lagi Dapat Bansos Tahun Depan
-
27 Sampel Kayu Jadi Kunci: Bareskrim Sisir Hulu Sungai Garoga, Jejak PT TBS Terendus di Banjir Sumut
-
Kerugian Negara Ditaksir Rp2,1 T, Nadiem Cs Segera Jalani Persidangan
-
Gebrakan KemenHAM di Musrenbang 2025: Pembangunan Wajib Berbasis HAM, Tak Cuma Kejar Angka
-
LBH PBNU 'Sentil' Gus Nadir: Marwah Apa Jika Syuriah Cacat Prosedur dan Abaikan Kiai Sepuh?