Suara.com - Pemerintah Indonesia dinilai abai terhadap perlindungan ekosistem pesisir dari dampak aktivitas tambang nikel.
Pengabaian itu terlihat dari tidak adanya riset komprehensif mengenai dampak pertambangan nikel terhadap ekosistem laut di wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan pertambangan nikel.
"Ekosistem khas di wilayah pesisir itu ada terumbu karang, ada hutan mangrove, ada padang lamun. Tapi itu tidak ada datanya. Mau ditanya KKP, mau ditanya BRIN, tidak ada, belum ada data penelitiannya," kata Dosen Ekonomi Sumber Daya Alam di Universitas Trilogi Jakarta Muhamad Karim dalam diskusi bersama Auriga Nusantara di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Karim menegaskan bahwa tanpa data, publik tidak bisa menilai secara objektif menggenai imbas dari aktivitas pertambangan nikel terhadap pencemaran maupun kerusakan lingkungan laut di sekitarnya.
Kondisi ini, menurut dia, sangat merugikan masyarakat dan justru memberi ruang bagi pembiaran kerusakan lingkungan yang lebih luas.
"Repot sekali di Indonesia ini, bagaimana kita mengatakan bahwa itu tidak terjadi apa-apa, sementara data ini tidak ada. Saya curiga bahwa yang tidak ada data itu disengaja supaya orang tidak bisa mengetahui dampaknya. Jadi mau dicek di manapun tidak ada data itu," kritiknya.
Ia menyebutkan setidaknya ada tiga jenis indikator yang dapat digunakan untuk menilai dampak tambang terhadap ekosistem laut, yaitu spesies ikan tertentu, kualitas air laut, dan sedimen dasar laut.
Jenis-jenis ikan seperti bawal putih, kakap, dan ikan karang dari genus Caesionidae (kaitodenikida) bisa menjadi indikator biologis penting karena mereka menyerap logam berat dari air yang tidak bisa terurai di tubuhnya. Ikan-ikan yang sudah tercemar itu juga berisiko membahayakan tubuh manusia bila dikonsumsi.
"Kalau yang makan ibu hamil, bisa cacat bayinya. Terutama misalnya jenis-jenis logam berat seperti timbal, arsenik lalu yang berbahaya kan itu seperti minamata itu," tuturnya.
Baca Juga: Susi Pudjiastuti Doakan Perusak Raja Ampat Terkena Azab, Doanya Bikin Merinding!
Logam minamata merujuk pada merkuri atau air raksa yang mencemari lingkungan dan menyebabkan penyakit Minamata, yaitu gangguan neurologis akibat keracunan merkuri.
Namun, hingga kini belum ada riset resmi maupun terbuka yang mengkaji kualitas air laut dan sedimen dasar di sekitar wilayah tambang nikel. Padahal, dua parameter ini penting untuk mengukur akumulasi pencemar dari aktivitas tambang di perairan.
Karim menyarankan agar lembaga-lembaga independen seperti Auriga Nusantara mulai mengambil inisiatif melakukan pengambilan sampel secara mandiri di beberapa lokasi pesisir terdampak tambang nikel, seperti di Maluku hingga Raja Ampat.
"Misalkan Auriga ingin mengambil sampel di beberapa pulau di wilayah Maluku, Raja Ampat, jadi itu yang bisa diambil, dengan jarak tertentu bisa dari pantai, tengah, sampai kira-kira berapa meter dari lokasi ekosistem misalnya terumbu karang, mangrove atau padang lamun. Itu nanti bisa kita lihat hasilnya," sarannya.
Minimnya riset dan lemahnya transparansi data ini membuat perlindungan terhadap ekosistem pesisir semakin rentan.
Ketika industri tambang terus bergerak cepat atas nama hilirisasi dan investasi, para ahli menilai pemerintah justru tertinggal jauh dalam memastikan keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pandangan serupa juga disampaikan Dosen Ilmu Kelautan Universitas Khairun di Ternate, Dr. Abdul Motalib. Ia menyoroti bahwa penyebaran industri tambang nikel dan fasilitas pemurniannya (smelter) secara geografis justru terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati laut.
Berita Terkait
-
Bahlil Harus Tahu, Dampak Tambang di Pulau Kecil Bisa Langsung Menyebar Cepat Meski Berjarak 40 KM
-
Dampak Penambangan Nikel di Pulau Kecil: Lingkungan Rusak, Warga Terancam
-
Laporan Greenpeace: 12 Izin Tambang Nikel Masuk Kawasan Geopark Global UNESCO Raja Ampat
-
Susi Pudjiastuti Doakan Perusak Raja Ampat Terkena Azab, Doanya Bikin Merinding!
-
Ketika Nikel Mengancam Surga Terakhir di Papua
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
-
Dampingi Presiden, Bahlil Ungkap BBM hingga Listrik di Sumbar Tertangani Pasca-Bencana
Terkini
-
Cuan dari Gang Sempit: Kisah PKL Malioboro yang Sukses Ternak Ratusan Tikus Mencit
-
MPR Dukung Kampung Haji, Dinilai Bikin Jemaah Lebih Tenang dan Aman Beribadah
-
KSAD Minta Media Ekspos Kerja Pemerintah Tangani Bencana Sumatra
-
Kejagung Tetapkan 3 Orang Jaksa jadi Tersangka Perkara Pemerasan Penanganan Kasus ITE
-
OTT KPK di Banten: Jaksa Diduga Peras Animator Korsel Rp2,4 M, Ancam Hukuman Berat Jika Tak Bayar
-
Pesan Seskab Teddy: Kalau Niat Bantu Harus Ikhlas, Jangan Menggiring Seolah Pemerintah Tidak Kerja
-
OTT Bupati Bekasi, PDIP Sebut Tanggung Jawab Pribadi: Partai Tak Pernah Ajarkan Kadernya Korupsi
-
Jawab Desakan Status Bencana Nasional, Seskab Teddy: Pemerintah All Out Tangani Bencana Sumatra
-
Pramono Anung: UMP Jakarta 2026 Sedang Dibahas di Luar Balai Kota
-
Bantah Tudingan Pemerintah Lambat, Seskab Teddy: Kami Sudah Bergerak di Detik Pertama Tanpa Kamera