Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi berkaitan dengan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) setelah bertemu dengan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej pada Jumat, 20 Juni kemarin.
Ketua Tim Kajian RUU KUHAP Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa pihaknya merekomendasikan agar kewenangan penggunaan upaya paksa pada penyelidikan dan penyidikan harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme sistem pengawasan yang ketat, baik dari internal maupun eksternal.
“Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” kata Haris dalam keterangannya, Sabtu, 21 Juni 2025.
Kemudian, rekomendasi lainnya ialah penggunaan kewenangan upaya paksa yang dinilai sebaiknya digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur. Serta dibuka peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan.
“Ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme praperadilan sebaiknya dirumuskan ulang agar menjadi mekanisme yang secara materiil mewakili kepentingan tersangka, korban, dan masyarakat secara umum yang berhak atas keadilan. Tidak hanya menguji aspek formil dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta penggunaan upaya paksa yang dimiliki penyelidik/penyidik,” ujar Haris.
“Serta masa sidang harus dilakukan dalam 14 hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan diputuskan,” tambah dia.
Komnas HAM menilai mekanisme keadilan restoratif harus dilakukan atas persetujuan dari korban dengan ditetapkan oleh pengadilan. Dalam prosesnya, lanjut Haris, penyidik yang menangani perkara tidak boleh menjadi mediator.
“Hal ini untuk menghindari terjadinya potensi ‘transaksional’ antara korban dan pelaku, khususnya korban yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi, sosial dan akses bantuan hukum,” terang Haris.
Lebih lanjut, Komnas HAM juga merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR menyelaraskan Hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban dengan ketentuan yang diatur dalam RUU HAP dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca Juga: KUHAP Baru Siap Meluncur! DPR Targetkan Rampung dalam 2 Masa Sidang
Menurut mereka, perhatian juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, Komnas HAM menilai harus memerhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat (living law).
“Bantuan hukum juga harus dapat diberikan kepada tersangka dan terdakwa dengan hukuman dibawah 5 tahun. Selain itu, bantuan hukum juga harus diberikan kepada korban mulai dari proses awal peradilan pidana (penyelidikan),” tutur Haris.
Komnas HAM juga menyoroti ketentuan jangka waktu banding yang dianggap singkat. Sebaiknya, kata Haris, Pemerintah dan DPR memberikan waktu yang cukup bagi para pihak, khususnya terdakwa atau kuasa hukumnya yang ingin mengajukan banding untuk mempersiapkan permohonan dan memori bandingnya secara lebih komprehensif.
RUU HAP disebut harus dapat mengakomodasi kemungkinan mekanisme pengujian admisibilitas (admisibility) terhadap alat-alat bukti untuk memastikan bahwa alat-alat bukti tersebut diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut, serta tidak melanggar norma hukum dan kesusilaan.
“Ketentuan mengenai koneksitas, RUU HAP sebaiknya memperjelas kriteria ‘Titik Berat Kerugian’ dalam menentukan suatu perkara,” tegas Haris.
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Soal Kerja Sama Keamanan RI-Australia, Legislator PDIP Ini Kasih 2 Catatan, Minta Prabowo Hati-hati
-
Babak Baru Kasus Korupsi CSR BI-OJK: KPK Kejar Aliran Dana, 2 Staf Ahli Heri Gunawan Diperiksa
-
Babak Baru Ledakan SMAN 72: Ayah Terduga Pelaku Diperiksa Intensif, Polisi Ungkap Fakta Ini
-
DPR-Pemerintah Mulai 'Bedah' 29 Klaster RUU KUHAP: Sejumlah Pasal Sudah Disepakati, Ini di Antaranya
-
Sisi Gelap Taman Daan Mogot, Disebut Jadi Lokasi Prostitusi Sesama Jenis Tiap Tengah Malam
-
Luruskan Simpang Siur, Ini Klarifikasi Resmi Aliansi Terkait 7 Daftar Organisasi Advokat yang Diakui
-
Kasus Femisida Melonjak, Komnas Perempuan Sebut Negara Belum Akui sebagai Kejahatan Serius
-
Anak Menteri Keuangan Blak-blakan: Purbaya Ternyata Tak Setuju dengan Redenominasi Rupiah
-
Percepat Tanggulangi Kemiskinan, Gubernur Ahmad Luthfi Gandeng Berbagai Stakeholder
-
Tok! MK Putuskan Jabatan Kapolri Tak Ikut Presiden, Jaga Polri dari Intervensi Politik