Suara.com - Upaya Indonesia menuju transisi energi bersih masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan akses publik terhadap mekanisme pendukung energi terbarukan yang sah dan terverifikasi. Selama ini, kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon cenderung terbatas pada kalangan tertentu yang memiliki kapasitas teknis dan finansial untuk membangun atau mengakses pembangkit energi terbarukan.
Di sisi lain, masyarakat umum dan pelaku usaha kecil yang ingin ikut terlibat kerap terkendala pada kurangnya instrumen partisipatif yang transparan dan mudah diakses. Padahal, keterlibatan publik dalam skala luas sangat penting untuk mempercepat dekarbonisasi dan memperluas jangkauan energi terbarukan di Indonesia.
Menjawab tantangan tersebut, ZONAEBT secara resmi meluncurkan Sertifikat Energi Terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC). Produk ini hadir sebagai inovasi inklusif yang memungkinkan siapa pun, baik individu maupun korporasi,untuk berkontribusi langsung dalam mendukung pemanfaatan energi bersih, tanpa harus membangun pembangkit listrik sendiri.
“Peluncuran REC ini adalah langkah strategis dalam membangun ekosistem energi terbarukan yang inklusif. Kami ingin memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi dalam transformasi energi Indonesia,” ujar I Kadek Alamsta Suarjuniarta, CEO ZONAEBT.
Setiap satu REC mewakili produksi 1 Megawatt-jam (MWh) dari sumber energi terbarukan seperti matahari, angin, atau air. Sertifikat ini memungkinkan pengguna untuk melacak asal energi dan memastikan keabsahan transaksinya melalui sistem digital.
Untuk menjamin keandalan dan legalitas produk, ZONAEBT menggandeng Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) dan telah memperoleh izin dari BAPPEBTI, Kementerian Perdagangan RI. Seluruh proses dilakukan secara daring, mulai dari pembelian hingga pelaporan, yang memudahkan akses sekaligus menjaga transparansi.
Bagi perusahaan, kepemilikan REC juga dapat digunakan sebagai bukti pemenuhan tanggung jawab lingkungan dalam pelaporan ESG (Environmental, Social, and Governance), serta mendukung standar keberlanjutan yang kini semakin dibutuhkan secara global. Sementara itu, bagi masyarakat umum, REC membuka ruang untuk berkontribusi pada aksi iklim secara terukur dan terjangkau.
ZONAEBT juga tengah mengembangkan fitur lanjutan, seperti analisis dampak lingkungan dan integrasi dengan sistem pelaporan karbon nasional, guna memperkuat dampak kolektif dari setiap langkah kecil yang diambil.
Masyarakat kini dapat mengakses dan membeli REC melalui situs resmi: zonaebt.com. Setiap pembelian adalah bagian dari langkah bersama menuju masa depan energi Indonesia yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Baca Juga: Riset: Merek Fesyen Dunia Ketergantungan Bahan Bakar Fosil, Saatnya Berbenah
Tantangan Transisi Energi di Indonesia
Sebagai informasi, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 43,2% pada 2030. Untuk mencapainya, transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi keharusan. Namun, perjalanannya penuh tantangan.
Meskipun pemerintah telah menargetkan 23% bauran energi berasal dari EBT, implementasinya belum optimal. Hambatan utama berada di sektor industri dan daya beli masyarakat yang masih terbatas dalam mengakses energi terbarukan. Biaya infrastruktur, teknologi, dan keterbatasan insentif membuat EBT belum menjadi pilihan utama secara ekonomi.
Potensi energi terbarukan Indonesia sebenarnya sangat besar—matahari, angin, dan geotermal melimpah. Namun, belum adanya ekosistem industri yang kuat serta minimnya dukungan kebijakan lintas sektor menghambat pengembangannya. Tanpa dukungan infrastruktur dan model pembiayaan yang inklusif, penguatan EBT hanya akan berjalan lambat.
Transisi energi bukan sekadar mengganti sumber energi, tapi juga tentang menciptakan ketahanan energi nasional dan kemandirian industri. Untuk itu, diperlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.
Dengan pasar domestik yang besar, transisi energi bisa menjadi peluang membangun industri nasional yang berdaya saing dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Tanpa langkah konkret dan kolaboratif, peluang ini bisa terlewat dan target emisi sulit tercapai.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 5 Pilihan HP Snapdragon Murah RAM Besar, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
Pilihan
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
Terkini
-
Anak Legislator di Sulsel Kelola 41 SPPG, Kepala BGN Tak Mau Menindak: Mereka Pahlawan
-
Guru Sempat Cium Bau Bangkai di Menu Ayam, BGN Tutup Sementara SPPG di Bogor
-
KPK Akui Belum Endus Keterlibatan Bobby Nasution dalam Kasus Korupsi Pengadaan Jalan Sumut
-
Luncurkan Kampanye Makan Bergizi Hak Anak Indonesia, BGN: Akses Gizi Bukan Bantuan
-
Bertemu di Istana, Ini yang Dibas Presiden Prabowo dan Dasco
-
Poin Pembahasan Penting Prabowo-Dasco di Istana, 4 Program Strategis Dikebut Demi Rakyat
-
Dituduh Punya Ijazah Doktor Palsu, Arsul Sani Tak akan Lapor Balik: Kalau MK kan Nggak Bisa
-
Viral Usul Ganti Ahli Gizi dengan Lulusan SMA, Ini Klarifikasi Lengkap Wakil Ketua DPR Cucun
-
Heboh Sebut Ahli Gizi Tak Penting, Wakil Ketua DPR Cucun Minta Maaf, Langsung Gelar Rapat Penting
-
Minta Pramono Naikkan Upah Jadi Rp6 Juta, Buruh Sesalkan UMP DKI Kalah dari Bekasi-Karawang