Kecerdasan buatan (AI) semakin sering digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan pengguna di seluruh dunia. Namun di balik setiap jawaban yang dihasilkan, ada konsekuensi lingkungan yang tidak banyak disadari, jejak karbon yang ditimbulkan akibat proses komputasi yang intensif.
Suara.com - Sebuah studi terbaru dari Hochschule München University of Applied Sciences di Jerman mengungkap bahwa proses 'berpikir' AI dapat meningkatkan emisi karbon secara drastis. Studi yang dipublikasikan di Frontiers in Communication ini membandingkan emisi CO dari 14 model LLM yang telah dilatih sebelumnya, dengan parameter berkisar antara 7 hingga 72 miliar.
"Dampak lingkungan dari penggunaan LLM yang sudah dilatih sangat dipengaruhi oleh pendekatan penalarannya. Model yang menerapkan proses penalaran eksplisit menghasilkan emisi karbon jauh lebih tinggi dibandingkan model yang memberikan jawaban singkat," kata Maximilian Dauner, penulis utama studi tersebut, dikutip Senin (23/6/2025).
Emisi Naik Saat AI ‘Bernalar’
Dalam studi ini, para peneliti mengajukan 1.000 pertanyaan benchmark dari berbagai bidang, seperti sejarah, filsafat, dan matematika. Model yang berpenalaran, seperti Cogito dengan 70 miliar parameter, menghasilkan rata-rata 543,5 thinking tokens per pertanyaan. Sebagai perbandingan, model dengan jawaban ringkas hanya membutuhkan sekitar 37,7 token. Semakin banyak token yang digunakan, semakin tinggi energi yang dikonsumsi—dan berarti emisi CO yang lebih besar.
Meski Cogito menjadi model paling akurat dengan tingkat keberhasilan 84,9%, ia juga menghasilkan tiga kali lipat emisi dibandingkan model seukuran lainnya yang memberikan jawaban singkat. Artinya, terdapat beban yang nyata antara akurasi dan keberlanjutan lingkungan.
Selain metode penalaran, jenis pertanyaan juga memengaruhi emisi secara signifikan. Pertanyaan abstrak di bidang filsafat atau aljabar menghasilkan emisi enam kali lebih besar dibandingkan pertanyaan sejarah tingkat sekolah menengah. Dauner menegaskan bahwa pengguna bisa mengurangi emisi dengan mengarahkan AI untuk memberikan jawaban ringkas atau menggunakan model berkapasitas tinggi hanya untuk keperluan yang memang membutuhkan kompleksitas tersebut.
Perbandingan antara model juga menunjukkan dampak yang mencolok. Jika model DeepSeek R1 (70 miliar parameter) digunakan untuk menjawab 600.000 pertanyaan, emisinya setara dengan penerbangan pulang-pergi London–New York.
Sementara model Qwen 2.5 (72 miliar parameter) dapat menjawab sekitar 1,9 juta pertanyaan dengan tingkat akurasi serupa dan menghasilkan emisi setara.
Baca Juga: Pelatihan AI Gratis Buat Pekerja dan UMKM Indonesia: Cek Cara Daftarnya!
Menuju Penggunaan AI yang Lebih Bijak
Studi ini memiliki keterbatasan, seperti jenis perangkat keras dan sumber energi yang digunakan, yang bisa berbeda secara regional. Namun temuan ini menjadi pengingat penting: bahwa penggunaan AI memiliki biaya lingkungan yang nyata. Dauner menyimpulkan,
"Jika pengguna mengetahui biaya CO dari keluaran AI mereka—misalnya untuk hal sepele seperti mengubah diri jadi tokoh aksi—mereka mungkin akan lebih selektif dan bijaksana dalam menggunakan teknologi ini."
Tidak ada standar baku yang mengharuskan perusahaan teknologi melaporkan emisi AI mereka secara spesifik. Ini menyulitkan pengukuran dampak AI terhadap konsumsi energi. Padahal, data internal menunjukkan bahwa perusahaan dengan adopsi AI tinggi cenderung mengalami lonjakan emisi operasional.
Pusat data, tulang punggung layanan digital, juga mencatat peningkatan konsumsi listrik yang signifikan. Sejak 2017, konsumsi listrik pusat data naik 12% per tahun, mencapai 415 TWh pada 2023, atau 1,5% dari permintaan global. Jika tren ini berlanjut, pada 2030, konsumsi listrik pusat data bisa mencapai 945 TWh, melebihi konsumsi tahunan Jepang.
Secara keseluruhan, perusahaan digital mengonsumsi sekitar 581 TWh listrik pada 2024 (2,1% permintaan global), dengan mayoritas terkonsentrasi pada segelintir perusahaan. Sepuluh perusahaan saja, termasuk Amazon, Alphabet, dan Microsoft, bertanggung jawab atas 51,9% permintaan listrik pada 2023. Transparansi data emisi AI sangat dibutuhkan untuk memahami dan mengatasi tantangan ini.
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Saja 5 Pelatih Tolak Melatih Timnas Indonesia?
- 5 Rekomendasi Bedak Cushion Anti Longsor Buat Tutupi Flek Hitam, Cocok Untuk Acara Seharian
- 10 Sepatu Jalan Kaki Terbaik dan Nyaman dari Brand Lokal hingga Luar Negeri
- 5 Pilihan Sunscreen Wardah dengan SPF 50, Efektif Hempas Flek Hitam hingga Jerawat
- 23 Kode Redeem FC Mobile 6 November: Raih Hadiah Cafu 113, Rank Up Point, dan Player Pack Eksklusif
Pilihan
-
Harga Emas di Pegadaian Stabil Tinggi Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Kompak Naik
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
-
Menkeu Purbaya Segera Ubah Rp1.000 jadi Rp1, RUU Ditargetkan Selesai 2027
-
Menkeu Purbaya Kaji Popok Bayi, Tisu Basah, Hingga Alat Makan Sekali Pakai Terkena Cukai
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
Terkini
-
Prediksi Cuaca Hari Ini 9 November 2025: Waspada Hujan Lebat di Berbagai Wilayah
-
Polisi Temukan Serbuk Pemicu Ledakan di Rumah Terduga Pelaku Peledakan SMAN 72
-
Densus 88 Terlibat Dalami Motif Terduga Pelaku Peledakan di SMAN 72
-
Blak-blakan Sebut Soeharto Diktator, Cerita 'Ngeri' Putri Gus Dur Dihantui Teror Orba Sejak SMP
-
Sindiran Pedas PDIP usai Jokowi Dukung Soeharto Pahlawan: Sakit Otaknya!
-
Masuk Komisi Reformasi Polri Bentukan Prabowo: Sepak Terjang Idham Azis, Nyalinya Gak Kaleng-kaleng!
-
Menkeu Purbaya Bakal Redenominasi Rupiah, Apa Manfaatnya?
-
Alasan Presiden Mahasiswa UIN A.M. Sangadji Ambon Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
-
Jenguk Korban Ledakan SMAN 72, Mensos Pastikan Biaya Pengobatan Ditanggung Pemerintah
-
Siswa Terduga Kasus Bom Rakitan di SMAN 72 Korban Bullying, Begini Kata Pengamat Teroris