Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengangkat kekhawatiran soal potensi penyalahgunaan hukum dalam konteks politik kekuasaan.
Ia menilai kasus hukum yang menimpa dua figur oposisi, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, mengandung aroma politis yang kental.
Menurut Feri, penanganan kasus ini mencerminkan bagaimana rezim saat ini merespons kritik.
Ia menyebut, apa yang disebut sebagai keberlanjutan oleh pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto tak hanya merujuk pada program, tapi juga pada cara menghadapi perbedaan pandangan.
Hal itu Feri sampaikan dalam diskusi yang digelar di Fakultas Hukum UI, Selasa, 22 Juli 2025.
"Bahkan bisa dijawab dengan kondisi yang kita dengar berapa bulan yang lalu, menggelegar dan monumental pernyataan 'Hidup Jokowi' oleh presiden yang berkuasa saat ini. Itu sudah menjelaskan bahwa apa yang mereka sebut keberlanjutan juga bermakna keberlanjutan untuk menjegal lawan-lawan politik," ujar Feri.
Peradilan Bernuansa Politik
Feri mengaitkan proses hukum ini dengan fenomena political trial atau peradilan politik, sebagaimana dijelaskan dalam kajian filsafat hukum oleh De Franco.
Ia menyebut tanda-tandanya cukup mudah dikenali.
Baca Juga: Roy Suryo 'Semprot' Jokowi di Gedung Juang: Ada Bapak Lebih Cinta Anak Daripada Negara
"Gambaran trial politik itu mudah saja. Kalau kemudian seseorang dihentikan karena pernyataan politiknya yang berbeda, maka itu pasti trial-nya politik," katanya.
Lebih lanjut, Feri mengajak publik menelusuri latar belakang dua tokoh yang kini berhadapan dengan proses hukum.
Menurutnya, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto selama ini dikenal sebagai sosok yang kerap menyuarakan kritik terhadap pemerintah, terutama terkait proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kebijakan bantuan sosial.
“Coba runut pernyataan dua orang ini sebelum proses terjadi. Semua pernyataan berbeda pandangan dengan yang berkuasa. Dan ketika itulah kemudian kasusnya muncul dan terjadi,” tegasnya.
Feri juga mempertanyakan kekuatan argumen hukum dalam kasus-kasus yang menjerat keduanya.
Ia menilai bukti dan konstruksi perkara terkesan dipaksakan dan tidak menunjukkan adanya unsur pidana yang kuat.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Kumpulan Prompt Siap Pakai untuk Membuat Miniatur AI Foto Keluarga hingga Diri Sendiri
- Terjawab Teka-teki Apakah Thijs Dallinga Punya Keturunan Indonesia
- Bakal Bersinar? Mees Hilgers Akan Dilatih Eks Barcelona, Bayern dan AC Milan
- Gerhana Bulan Langka 7 September 2025: Cara Lihat dan Jadwal Blood Moon Se-Indo dari WIB-WIT
- Geger Foto Menhut Raja Juli Main Domino Bareng Eks Tersangka Pembalakan Liar, Begini Klarifikasinya
Pilihan
-
Nomor 13 di Timnas Indonesia: Bisakah Mauro Zijlstra Ulangi Kejayaan Si Piton?
-
Dari 'Sepupu Raisa' Jadi Bintang Podcast: Kenalan Sama Duo Kocak Mario Caesar dan Niky Putra
-
CORE Indonesia: Sri Mulyani Disayang Pasar, Purbaya Punya PR Berat
-
Sri Mulyani Menteri Terbaik Dunia yang 'Dibuang' Prabowo
-
Surat Wasiat dari Bandung: Saat 'Baby Blues' Bukan Cuma Rewel Biasa dan Jadi Alarm Bahaya
Terkini
-
Benarkah 'Era Jokowi' Sudah Usai? 5 Fakta Reshuffle Prabowo, Diawali Depak Sri Mulyani
-
Kompolnas: Etik Tak Cukup, Kasus Kematian Ojol Affan Kurniawan Harus Diproses Pidana
-
21 Tahun Kasus Munir: Komnas HAM Periksa 18 Saksi, Kapan Dalang Utama Terungkap?
-
CEK FAKTA: Klaim Prabowo Pindahkan 150 Ribu TKI dari Malaysia ke Jepang
-
Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
-
Deadline 2026! Pemerintah Kejar Target Kemiskinan Ekstrem: Daerah Wajib Lakukan Ini...
-
Baru Dilantik Prabowo, Kekayaan Menteri P2MI Mukhtarudin Capai Rp 17,9 Miliar
-
Pesan Terbuka Ferry Irwandi ke Jenderal: Tidak Lari, Tidak Takut, Tidak Diam
-
CEK FAKTA: Video Jurnalis Australia Ditembak Polisi Indonesia
-
Dito Ariotedjo Dicopot dari Menpora, Bahlil Langsung Setor Nama Pengganti, Puteri Komarudin?